Selasa, 20 Juni 2017

Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Arsip Cofa No. A 074
donasi dg belanja di Toko One

Fotointesis Sebagai Dasar Budidaya Ikan

Menurut Boyd (1982), seperti halnya semua tipe produksi ternak, produksi ikan berasal dari radiasi matahari. Energi dalam radiasi matahari ditangkap sebagai energi kimia di dalam karbohidrat melalui reaksi kimia fotosintesis tumbuhan hijau. Fotosintesis merupakan dasar penting semua bahan organik dan semua energi yang tersedia secara biologis. Sudah tentu, tumbuhan memerlukan sejumlah zat hara anorganik di samping karbon dioksida dan air untuk pertumbuhan. Zat-zat hara anorganik ini meliputi nitrogen, fosfor, belerang, kalium, kalsium, magnesium, besi, mangan, tembaga dan kadang-kadang yang lainnya.

Sebagian karbohidrat yang dihasilkan dalam fotosintensis digunakan oleh tumbuhan untuk respirasi – suatu proses yang pada dasarnya merupakan kebalikan dari fotosintesis. Dalam respirasi, karbohidrat dioksidasi menjadi karbon dioksida dan air, dengan melepaskan energi yang bisa digunakan dalam reaksi-reaksi biokimia agar bisa berjalan. Sebagian besar sisa karbohidrat dari fotosintesis disintesis oleh tumbuhan menjadi berbagai senyawa organik : zat pati, selulosa, pektin, lignin, asam-asam amino, protein, asam nukleat, lemak, lilin, pigmen, minyak, vitamin, dll. Senyawa-senyawa ini dimanfaatkan untuk membangun jaringan tumbuhan atau untuk fungsi-fungsi penting lainnya.

Tumbuhan merupakan satu-satunya sumber energi dan bahan organik bagi binatang. Senyawa-senyawa berkarbon yang dibentuk oleh tumbuhan diperlukan oleh binatang sebagai sumber energi dan sebagai bahan biokimia penting bagi pertumbuhan dan pemeliharaan. Karena itu, fotosintesis dan asimilasi biokimia oleh tumbuhan berhubungan dengan produksi ternak. Lebih jauh, organisme mikroba yang tidak mampu berfotosintesis memanfaatkan material tumbuhan dan binatang mati sebagai makanan – mikroorganisme penyebab penyakit menggunakan jaringan hidup inang sebagai makanannya.

Oksigen yang dihasilkan oleh fotosintesis dimanfaatkan dalam respirasi untuk mengoksidasi bahan organik yang terikat dalam fotosintesis dan untuk melepaskan karbon dan energi yang tersimpan di dalam karbohidrat. Sebaliknya, karbon dioksida yang dilepaskan oleh respirasi bisa digunakan kembali sebagai pereaksi dalam fotosintesis. Sebagain energi yang dilepaskan dalam respirasi digunakan untuk menggerakkan fungsi-fungsi biologis, tetapi akhirnya semua energi yang dilepaskan oleh respirasi hilang ke lingkungan sebagai panas. Semua kehidupan tergantung pada input energi dari matahari dan pada siklus transformasi karbon dan oksigen. Pengelolaan terhadap transformasi ini untuk memproduksi bahan makanan manusia merupakan tujuan budidaya ikan dan pertanian secara umum.

Baca juga Daya Apung Fitoplankton dan Arti Pentingnya

Penyebab Tingginya Laju Fotosintesis Fitoplankton

Pada skala global, fotosintesis fitoplankton tahunan secara kasar sama dengan fotosintesis tahunan tumbuhan dan pepohonan di darat, padahal total biomas fitoplankton hanya 0,2 % dari total biomas tumbuhan darat. Bagaimana hal ini bisa terjadi ? Chisholm (1992) memberikan penjelasan untuk menjawab pertanyaan ini. Fitoplankton tumbuh sangat cepat. Mereka bisa menggandakan biomasnya dalam hitungan hari, sedangkan tumbuhan darat memerlukan waktu bulanan sampai tahunan.

Sebagai tambahan, Klochenko (1992) melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ada korelasi antara konsentrasi klorofil-a, laju fotosintesis dan penimbunan nitrit dalam media kultur alga hijau-biru dan alga hijau yang secara algologi murni.

Baca juga Distribusi, Kelimpahan dan Komposisi Spesies Fitoplankton Laut

Variasi Konsentrasi Produk Fotosintesis Fitoplankton di Danau

Penggolongan hasil-hasil fotosintesis menjadi produk berberat molekul rendah, lipida, polisakarida dan protein pada fitoplankton alami di sebuah danau eutrofik daerah beriklim-sedang (Nantua, Perancis) telah diteliti oleh Feuillade et al. (1992) setiap bulan selama satu tahun, dalam hubungannya dengan faktor-faktor lingkungan dan spesies fitoplankton yang ada. Selain itu, pengaruh intensitas cahaya terhadap produk akhir fotosintesis juga telah dipelajari dengan menggunakan kultur Oscillatoria rubescens, spesies dominan di danau ini. Selama periode pengadukan, variasi konsentrasi produk fotosintesis menurut kedalaman adalah terutama disebabkan oleh intensitas cahaya. Selama periode stratifikasi termal ketika Oscillatoria rubescens berkumpul di bawah termoklin, proporsi relatif produk fotosintesis adalah tergantung pada komposisi spesies dan ketersediaan zat hara. Pada lapisan Oscillatoria rubescens, penggabungan karbon adalah rendah pada lipida dan sangat tinggi pada polisakarida.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :
Magic Nicer dicer asli Pemotong lengkap praktis

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis di Kolam Ikan

Menurut Boyd (1982) laju fotosintesis dalam kolam ikan berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton dan intensitas cahaya. Dengan asumsi bahwa intensitas cahaya sama, produksi oksigen terlarut oleh fotosintesis akan meningkat sejalan dengan kelimpahan fitoplankton. Pada kolam ikan, fitoplankton merupakan sumber utama kekeruhan sehingga penetrasi cahaya umumnya berkaitan dengan kelimpahan fitoplankton. Karena itu, fitoplankton terbatas pada kedalaman-kedalaman yang lebih dangkal ketika kelimpahannya meningkat, sehingga terjadi stratifikasi vertikal yang kuat dalam hal laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen terlarut.

Produksi primer kotor dengan laju 1 – 4 mg/liter oksigen per jam telah diamati di lapisan teratas kolam ikan di Alabama, Amerika Serikat. Namun demikian, karena kelimpahan plankton, penetrasi cahaya sangat terbatas dan laju produktivitas primer menurun cepat sejalan dengan kedalaman. Titik kompensasi, yaitu kedalaman di mana jumlah oksigen yang dihasilkan fotosintesis tepat sama dengan jumlah oksigen yang dipakai untuk respirasi, berkisar dari 40 sampai 75 cm. Bila data ini dipadukan dengan kedalaman, maka produksi oksigen di kolam ikan berkisar dari 4 sampai 12 gram/m2 per hari. Untuk sebuah kolam dengan kedalaman rata-rata 1 meter, nilai-nilai ini bersesuaian dengan 4 – 12 mg/liter oksigen per hari.

Penelitian terhadap kolam-kolam ikan di Israel pada tahun 1962 menyimpulkan adanya stratifikasi vertikal yang tajam. Laju fotosintesis maksimum di kolam seperti ini berlangsung pada intensitas cahaya 1.500 – 8.000 kaki kandela (1 kaki kandela = 10,76 lux). Laju fotosintesis menurun cepat pada intensitas cahaya yang lebih rendah karena cahaya tidak memadai; fotosintesis sebesar 80 % dari maksimum pada 1.000 kaki kandela dan 50 % dari maksimum pada 500 kaki kandela. Intensitas cahaya di atas 8.000 kaki kandela menghambat fotosintesis; laju fotosintesis hanya 50 % dari maksimum pada 15.000 kaki kandela. Fotosintesis biasanya sekitar 80 – 90 % dari maksimum di dekat permukaan air, maksimum pada kedalaman 10 – 12 cm, dan sekitar 50 % dari maksimum pada kedalaman 30 cm. Berdasarkan hasil pengamatan ini disimpulkan bahwa ketika kolam ikan menjadi lebih kaya dengan zat hara, produktivitas primer meningkat pada lapisan-lapisan atas kolam tersebut, di mana kondisi cahaya menguntungkan, tetapi menurun pada lapisan-lapisan bawah, di mana penaungan oleh plankton menghambat masuknya cahaya ke lapisan air.

Pada hari yang cerah, laju fotosintesis meningkat cepat setelah matahari terbit dan tetap tinggi hingga matahari hampir terbenam, meskipun laju fotosintesis pada sore hari agak lebih rendah dibandingkan pada petang hari. Langit berawan menyebabkan penurunan laju fotosinesis.

Pola stratifikasi oksigen terlarut berdasarkan kedalaman mungkin berlawanan dengan yang dijelaskan di atas pada kolam di mana makrofita (vegetasi besar) tumbuh di bagian kolam yang dalam. Kolam ini memiliki sedikit fitoplankton sehingga laju fotosintesis dan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi sering dijumpai pada hamparan gulma di bagian kolam yang dalam (Boyd, 1982).

Baca juga Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Fotosintesis

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Variasi Fotosintesis Fitoplankton

Guilizzoni et al. (1991) melakukan penelitian selama setahun terhadap fitoplankton, produksi primer serta faktor-faktor fisika dan kimia yang berkaitan di sebuah danau eutrofik Lake Lugano di Italia. Berbeda dengan cara biasa menentukan karakteristik fitoplankton melalui berbagai struktur komunitas dan biomas, klorofil dan 12 karotenoid telah dianalisis dengan teknik kromatografi lapisan tipis. Ketergantungan fotosintesis pada banyak faktor telah dievaluasi secara statistik. Ditemukan bukti adanya adaptasi-matahari dan peranan karotenoid dalam perlindungan. Tampaknya, variasi aktivitas dan efisiensi fotosintesis terutama tergantung pada rezim cahaya beberapa hari sebelum pengamatan serta pada kandungan selular klorofil dan karotenoid tunggal, yang konsentrasinya tergantung pada faktor-faktor fisik (terutama cahaya) dan ukuran sel rata-rata serta pada kumpulan spesies.

Pengaruh Cahaya Terhadap Laju Fotosintesis Fitoplankton

Moss (1980) menyatakan bahwa fotosintesis maksimum mungkin terjadi di lapisan permukaan air, tetapi pada hari-hari yang cerah biasanya fotosintesis maksimum ini terjadi pada lapisan yang lebih dalam. Hal ini tidak selalu disebabkan oleh populasi fitoplankton di lapisan permukaan lebih sedikit daripada lapisan di bawahnya, karena hal ini juga terjadi bila konsentrasi fitoplankton di dalam semua lapisan air sama. Sinar ultraviolet, meskipun dengan cepat diserap oleh air dan senyawa organik terlarut, namun masih ada di lapisan permukaan air dalam jumlah yang cukup untuk menghambat laju fotosintesis.

Penggabungan nilai fotosintesis-kedalaman memberikan nilai produksi primer dalam kolom air. Nilainya tergantung pada beberapa faktor termasuk metode pengukuran yang digunakan. Fotosintesis kotor dan produksi akhir material sel baru merupakan proses yang terpisah, terkait bersama-sama, tetapi oleh berbagai faktor. Intensitas cahaya yang tinggi mungkin mendorong cepatnya pembentukan produk fotosintesis – ATP dan NADPH2 - serta besarnya produksi oksigen tetapi komponen sel yang penting (misal PO4, NO3) hanya sedikit dibentuk sehingga biomas baru tidak dapat dihasilkan. Sel berespirasi cepat tetapi pertumbuhan sel atau populasi hampir tidak terjadi. Metode C-14 dalam kasus ini mungkin memberikan nilai laju fotosintesis yang jauh lebih rendah daripada bila laju fotosintesis ini diukur dengan metode oksigen. Bila intensitas cahaya tinggi dan tidak ada zat hara yang menjadi faktor pembatas maka kedua metode tadi akan menunjukkan laju fotosintesis yang tinggi.

Menurut Moss (1980) ada dua faktor yang membatasi aktivitas fitoplankton. Faktor-faktor pembatas-laju mempengaruhi laju fotosintesis kotor sedangkan faktor-faktor pembatas-hasil menentukan batas maksimal potensi produksi biomas. Karena itu mereka terutama mempengaruhi produksi neto fotosintesis.

Cahaya adalah faktor pembatas-laju yang paling umum. Intensitas cahaya pada lapisan air makin dalam makin berkurang secara eksponensial di bawah tingkat fotosintesis maksimum. Hal ini menyebabkan penyerapan cahaya juga berkurang secara eksponensial di dalam kolom air. Cahaya mungkin menjadi faktor pembatas-laju maupun pembatas-hasil pada lapisan air di dekat permukaan pada danau yang sangat subur di mana begitu banyak sel-sel alga dibentuk sehingga sel alga menaungi sel di bawahnya. Pada danau dan sungai dataran rendah yang keruh akibat banyaknya materi aloktonus (yakni, dari luar sistem), cahaya mungkin juga menjadi faktor pembatas-hasil (Moss, 1980).

Baca juga Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Zat Hara Sebagai Faktor Pembatas Fotosintesis

Moss (1980) menyatakan bahwa faktor pembatas-hasil fotosintesis yang paling umum adalah faktor kimia. Berbagai jenis zat hara dibutuhkan oleh fitoplankton bagi pertumbuhannya tetapi beberapa zat hara ini terdapat dalam jumlah terbatas. Ada dua cara utama untuk mengetahui faktor pembatas potensial. Cara pertama adalah mengukur laju penyerapan karbon-14 dalam sampel plankton di mana ke dalam sampel ini dimasukkan berbagai jenis zat hara (nutrien) yang berpotensi sebagai faktor pembatas, bersama-sama dengan senyawa NaH14CO3. Peningkatan penyerapan karbon-14 secara tak wajar, yang diamati selama beberapa jam, berarti menunjukkan bahwa zat hara yang mendorong peningkatan ini adalah faktor pembatas. Banyak zat hara yang menyebabkan peningkatan laju penyerapan karbon-14, beberapa di antaranya diitemukan di danau dalam jumlah besar namun tidak bersifat racun. Penafsiran uji ini dengan demikian menjadi sulit. Untuk itu percobaan harus dilakukan lebih lama lagi agar dapat ditentukan apakah suatu zat hara memang dapat mendorong peningkatan produksi biomas fitoplankton ataukah tidak. Dengan cara ini jenis-jenis zat hara pembatas menjadi lebih sedikit. Fosfat, nitrat atau amonium, dan besi serta mangan, seringkali menjadi faktor pembatas di danau beriklim sedang, dan hasil ini diperkuat oleh percobaan di mana seluruh atau sebagian wilayah danau diberi pupuk. Di danau-danau Afrika tropis alami, senyawa nitrogen tampaknya lebih sering menjadi pembatas daripada fosfat. Hal ini mungkin menunjukkan melimpahnya batu-batu vulkanik yang kaya akan fosfat di daerah tangkapan-hujan (catchment area) di banyak danau Afrika, atau mungkin tingginya laju denitrifikasi di tanah daerah tangkapan-hujan danau-danau tropis tersebut.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 05 Juni 2017

Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Arsip Cofa No. A 070
donasi dg belanja di Toko One

Pengaruh Ketersediaan Oksigen dan Aktivitas Renang Terhadap Konsumsi Oksigen Pada Ikan

Ketersediaan oksigen bisa membatasi metabolisme, bahkan ketika air jenuh dengan udara. Pada suhu di atas 15 °C, aktivitas ikan dibatasi oleh konsentrasi oksigen karena ikan sockeye salmon berenang dengan pola yang bisa dipertahankan pada kecepatan yang cukup jauh melebihi kecepatan ketika berenang dalam air yag superjenuh dengan oksigen. Pada suhu kurang dari 15 °C, suhu diduga menjadi pembatas – artinya, reaksi molekular yang menghasilkan energi tidak berlangsung cukup cepat sekalipun oksigen tersedia cukup. Suhu dan konsentrasi oksigen diduga menentukan batas atas untuk kebanyakan ikan lain tetapi hubungan ini belum dipelajari secara rinci untuk spesies lain selain sockeye salmon.

Aktivitas sebegitu jauh merupakan faktor tunggal terbesar yang mempengaruhi konsumsi oksigen. Hubungan antara keceparan renang dan konsumsi oksigen merupakan hubungan eksponensial sederhana dengan bentuk yang bisa disamakan seperti bentuk kurva kekuatan-aktivitas untuk peralatan pendorong-air, baik biologis atau mekanis. Tingkat konsumsi oksigen untuk tingkat kekuatan yang melebihi ‘aktif’ tidak dapat diukur, tetapi bisa ditentukan dengan cara ekstrapolasi (yakni perpanjangan kurva) dari bagian kurva sebelah kiri. Sebenarnya, hutang oksigen akan muncul karena sistem pengiriman oksigen tidak bisa bekerja pada tingkat sedemikian tinggi tersebut. Kemiringan kurva kekuatan ini menurun pada suhu yang lebih tinggi untuk sockeye salmon dan pasti berbeda untuk spesis ikan yang berbeda (Smith, 1982).

Baca juga Ekskresi Nitrogen dan Amonia : Pengaruh Faktor Biotik dan Lingkungan

Hubungan Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia

Menurut Smith (1982), setelah menelan makanan konsumsi oksigen ikan meningkat tajam tanpa ada peningkatan aktivitas. Kejadian-kejadian yang menyebabkan peningkatan konsumsi oksigen ini disebut “specific dynamic action” (SDA). Bisa langsung diduga bahwa peningkatan konsumsi energi berhubungan dengan sintesis enzim, lendir dan cairan pencernan lain yang diperlukan untuk mencerna makanan, tetapi hal ini tidak benar. Enzim telah ada di dalam sel sebelum ikan makan dan hanya dilepaskan selama pencernaan. Ukuran SDA berhubungan dengan jumlah protein di dalam makanan dan dengan persentase makanan yang digunakan untuk energi, bukannya untuk pertumbuhan. Protein yang dipakai untuk energi harus dibuang gugus aminonya (-NH2) dan kemudian diekskresikan sebagai amonia (NH3), kedua proses ini memerlukan masukan energi. Jadi peningkatan konsumsi oksigen akan diikuti oleh peningkatan ekskresi amonia.

Baca juga Pengaruh Faktor Kimia Perairan Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Kecepatan Renang dan Konsentrasi Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan Lele

Menurut Sukumaran dan Kutty (1977) selain tingkat aktivitas eksternal, faktor lain yang mempengaruhi tingkat konsumsi oksigen adalah konsentrasi oksigen dan karbon dioksida dalam medium di sekitarnya, suhu, salinitas, tingkat kelaparan, derajat aklimasi, pH, musim, dll. Dalam sebuah penelitian, ikan Tilapia mossambica dipaparkan terhadap berbagai konsentrasi oksigen terlarut dan dipaksa berenang selama beberapa jam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Tilapia mossambica menggunakan energi anaerobik yang cukup besar pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal), dengan memanfaatkan lebih banyak protein selama kondisi hipoksia dan selama latihan jangka panjang. Disimpulkan bahwa produksi amonia anaerobik terjadi selama ikan melakukan aktivitas yang dipaksakan dan pada kondisi hipoksia.

Sukumaran dan Kutty (1977) melaporkan bahwa konsumsi oksigen, ekskresi amonia dan kuosien amonia (ammonia quotient, AQ, yaitu perbandingan volume NH3/volume O2) pada ikan lele, Mystus armatus, yang diaklimasikan terhadap dan diuji pada air tawar bersuhu 30 oC, telah ditentukan dengan mengamati kecepatan renang dan konsentrasi oksigen di medium sekitarnya. Pada kondisi normoksia (konsentrasi oksigen terlarut normal) ikan mempertahankan nilai AQ di sekitar 0,12, sedangkan pada saat konsentrasi oksigen terlarut rendah (kurang dari 2 ppm) nilai AQ meningkat tajam sampai 0,3 yang menunjukkan peningkatan metabolisme protein pada kondisi hipoksia (konsentrasi oksigen terlarut di bawah normal). Mystus armatus yang dilatih berenang terus-menerus selama 5 jam dengan kecepatan bervariasi memanfatkan lebih banyak protein selama fase latihan terakhir. Peningkatan pemakaian protein mungkin berguna dalam mempertahankan keseimbangan asam-basa dan konsentrasi ion natrium dalam tubuh ikan. Setelah metabolisme Mystus armatus kembali pulih dari kondisi hipoksia, konsumsi oksigen meningkat tajam melebihi pada periode prahipoksia, yang menunjukkan bahwa oksigen sedang ditimbun di dalam tubuh ikan yang mengalami hipoksia.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :
Herbal Teh Sanna Al Sunnah

Pengaruh Kekurangan Oksigen Terhadap Konsumsi Oksigen dan Ekskresi Amonia pada Ikan

Penelitian oleh Sukumaran dan Kutty (1977) menunjukkan bahwa meningkatnya ekskresi amonia pada ikan lele adalah sejalan dengan menurunnya konsumsi oksigen selama kondisi hipoksik. Nilai kuosien ammonia (AQ) pada ikan Tilapia mossambica selama fase aerobik cenderung konstan pada nilai sekitar 0,2 tetapi meningkat sampai 1,0 pada konsentrasi oksigen rendah. Kenaikan AQ dengan jelas menunjukkan pelepasan ekstra amonia secara anaerobik. Sesuai dengan pernyataan ini, hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino dimanfaatkan sebagai sumber energi anaerobik dalam otot putih ikan karper. Namun, penelitian lain menyimpulkan bahwa adenilat merupakan satu-satunya sumber energi potensial amonia anaerobik.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah adanya penurunan konsumsi oksigen dan peningkatan nilai AQ seperti yang diamati pada ikan Tilapia mossambica dan Rhinomugil corsula selama kondisi hipoksik. Peningkatan nilai AQ pada kondisi hipoksik pertama kali diamati pada Tilapia mossambica dan kemudian pada spesies lain yakni Rhinomugil corsula, Barbus sarana dan ikan mas koki. Peningkatan nilai AQ ini menunjukkan terjadinya peningkatan relatif degradasi protein.

Baca juga Konsumsi Oksigen Pada Ikan : Pengaruh Faktor-Faktor Biologi

Adalah mungkin bahwa peningkatan relatif produksi amonia selama kondisi anaerobik membantu mencegah terjadinya asidosis. Telah diketahui bahwa produksi metabolik dan pelepasan amonia ke dalam darah lebih besar daripada laju ekskresi ditambah detoksifikasi amonia pada ikan rainbow trout. Juga telah diketahui bahwa pada mamalia, amonia urin meningkat selama asidosis. Yang juga menarik untuk diperhatikan di sini adalah bahwa pada mamalia aktivitas renal glutaminase dipertinggi oleh asidosis. Dalam jaringan saraf mamalia, peningkatan konsentrasi amonia merangsang peningkatan glikolisis. Penelitian menunjukkan bahwa pada mamalia amonia yang terjebak dan terikat pelan-pelan dilepaskan dari sel-sel otot dan otak pada laju yang sesuai dengan aktivitas siklus ornitin selama sintesis urea di dalam hati. Pada ikan adalah mungkin bahwa amomia non-ionik diekskresi melalui difusi pasif mengikuti gradien (perbedaan) konsentrasi menembus permukaan insang dari darah ke air, dan bahwa aktivitas glutaminase dan glutamin acid dehidrogenase adalah tinggi pada insang ikan; bagaimanapun, sumber amonia dapat dikesampingkan atau sebaliknya diperhatikan. Pertukaran ion NH4+ degan Na+ pada insang ikan mas koki dan sidat (Anguilla anguilla) telah diamati oleh beberapa peneliti. Jadi ekskresi amonia juga membantu mempertahankan konsentrasi ion natrium.

Kutty (1972) menjelaskan nilai energi NH4 yang diekskresi oleh ikan Tilapia mossambica pada kondisi hipoksia dan selama aktivitas yang dipaksakan dengan asumsi bahwa amonia merupakan satu-satunya produk akhir metabolisme protein dan bahwa substrat untuk metabolisme protein seluruhnya berupa protein dan bukan senyawa perantara. Dengan asumsi di atas, Kutty menghitung nilai AQ maksimum anaerobik sebesar 0,335 untuk protein. Perhitungan ini juga didasarkan pada nilai dari energitika mamalia, tetapi disesuaikan untuk sistem ikan. Meskipun asumsinya lebar, AQ dapat digunakan sebagai alat untuk mempelajari metabolisme. Nilai rutin 0,24 menunjukkan bahwa sumber energi utama untuk ikan Tilapia mossambica adalah protein. Dibandingkan dengan nilai rutin 0,12 pada ikan lele Mystus armatus, maka ikan lele ini memanfaatkan lebih sedikit protein dalam metabolisme rutinnya. Peranan protein, bagaimanapun, dibatasi oleh asumsi yang dipakai. Sebagai contoh, Kutty juga menunjukkan bahwa deaminasi akhir mungkin bertanggung jawab atas sebagian besar amonia yang dihasilkan, dalam hal ini energi relatif yang diperoleh dari protein jauh lebih sedikit. Tetapi tipe ekskresi NH3 ini pada Tilapia mossambica tidak teramati selama aktivitas yang dipaksakan dan adalah mungkin bahwa amonia yang dihasilkan dalam percobaan ini menunjukkan energi yang sepenuhnya berasal dari metabolisme protein. Bagaimanapun, produksi anaerobik amonia dapat berlangsung terutama dalam kasus di mana nilai AQ lebih tinggi daripada nilai maksimum aerobik 0,335.

Driedzic dan Hochachka (1974) tidak menemukan adanya peningkatan NH4+ yang cukup besar dalam otot putih ikan karper setelah mengalami stres hipoksia, tetapi mereka menemukan adanya peningkatan asam amino nitrogen yang cukup besar di dalam otot. Mereka juga menyatakan bahwa amonia anaerobik diproduksi dari sumber adenilat dalam otot putih ikan karper pada kondisi hipoksia dan nasib NH4+ yang diproduksi belum diketahui. Dalam penelitian ini nilai AQ hipoksia sebesar 0,28 menunjukkan bahwa produksi dan/atau pelepasan amonia anerobik dapat diabaikan, seperti pada perhitungan yang berdasarkan energitika mamalia. Tetapi ada peningkatan ekskresi amonia yang menyolok pada konsentrasi oksigen yang rendah dan pelepasan amonia ekstra bisa berasal dari produksi amonia anerobik atau dari amonia yang terjebak dan/atau terikat dalam sel-sel otot dan darah.

Baca juga Pengaruh Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Daya Racun Amonia

Pengaruh Rendahnya Konsentrasi Oksigen Terlarut Terhadap Ekskresi Amonia

Regnault (1993) melaporkan bahwa kepiting Cancer pagurus dalam kondisi istirahat telah dipaparkan terhadap hipoksia yang parah (tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr) selama 5 jam pada suhu 15 °C. Laju ekskresi amonia diukur pada kepiting yang diberi makan teratur dan kepiting yang dilaparkan. Penurunan laju ekskresi amonia sebesar 50 % dan 60 % terlihat pada tekanan oksigen 40 Torr dan 15 Torr, berturut-turut, pada kepiting yang diberi makan teratur. Penurunan ini tercapai sepenuhnya dalam 1 jam pertama. Pada kepiting yang dilaparkan 2-minggu, laju ekskresi amonia normoksik berkurang sebesar 40 % sebagai akibat kelaparan. Penurunan laju ekskresi lebih lanjut terjadi pada kedua kondisi hipoksia di atas (40 dan 15 Torr) tetapi efek hipoksia tampaknya dipengaruhi oleh efek kelaparan primer.

REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...