Sabtu, 22 Agustus 2015

Produk Ikan Fermentasi

Arsip Cofa No. C 196

Bakteri Asam Laktat Dalam Produk Fermentasi Ikan Tradisional

Produk perikanan fermentasi tradisional bergaram-rendah di Thailand yang dikenal dengan nama “som-fak” mengandung bakteri asam laktat baik pada bahan-bahan mentahnya maupun pada som-fak itu sendiri. Paludan-Müller dan Gram (1999) melaporkan bahwa bakteri asam laktat yang diisolasi dari bahan-bahan mentah (ikan, beras, bawang putih dan daun pisang) dan som-fak olahan telah ditentukan karakteristiknya dengan API 50-CH dan kriteria fenotipik lainnya. Bakteri Lactococcus lactis subsp. lactis dan Leuconostoc citreum berasosiasi secara spesifik dengan filet ikan dan ikan cincang, Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dengan beras dan Weisella confusa dengan daun pisang dan campuran bawang putih. Selain itu, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus pentosus dan Pediococcus pentosaceus telah diisolasi dari bahan-bahan mentah. Suksesi spesies lactobacillus yang bersifat homofermentatif-aciduric, yang didominasi oleh Lactobacillus plantarum/pentosus, ditemukan selama fermentasi. Secara total, 9 % galur menfermentasi zat pati dan 19 % menfermentasi bawang putih, dua komponen utama som-fak. Kemampuan untuk menfermentasi bawang putih diimbangi oleh kemampuan menfermentasi inulin. Peningkatan persentase galur yang menfermentasi bawang putih ditemukan selama fermentasi som-fak, dari 8 % pada hari ke-1 menjadi 40 % pada hari ke-5. Selama fermentasi tidak terisolasi galur yang menfermentasi zat pati.

Tiga kultur campuran bakteri asam laktat, yang terdiri dari Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dan Lactobacillus lactis subsp. lactis yang menfermentasi zat pati, atau Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum yang menfermentasi bawang putih, atau kombinasi galur-galur ini diinokulasikan pada som-fak buatan laboratorium dengan atau tanpa bawang putih. Pada som-fak tanpa bawang putih, pH di atas 4,8 setelah 3 hari, tanpa terpengaruh oleh penambahan kultur campuran bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat penfermentasi zat pati tidak dapat menfermentasi som-fak dan indikasi pembusukan secara inderawi timbul setelah tiga hari. Fermentasi dengan campuran gabungan galur-galur penfermentasi zat pati dan bawang putih menyebabkan produksi 2,5 % asam dan penurunan pH menjadi 4,5 dalam dua hari. Fermentasi sedikit lebih lambat bila menggunakan galur penfermentasi bawang putih saja. Ini merupakan laporan pertama yang menjelaskan peranan bawang putih sebagai sumber karbohidrat bagi bakteri asam laktat dalam menfermentasi produk perikanan (Paludan-Müller dan Gram, 1999).

Baca juga :
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Bakteri Penghasil Bakteriosin Dalam Produk Ikan Fermentasi

Menurut Lee et al. (2000) bakteriosin diklasifikasikan sebagai protein yang diproduksi oleh kelompok-kelompok bakteri heterogen, yang mempunyai efek antimikroba terhadap organisme yang berkerabat dekat. Baru-baru ini, bakteriosin yang berasal dari bakteri asam laktat dan organisme lain terkait-makanan menjadi subyek banyak penelitian mengenai potensi pengawetan makanan secara biologis. Tujuan studi ini adalah untuk memilih dan mempelajari karakteristik bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dari Jeot-gal (produk perikanan fermentasi komersial di Korea). Semua isolat bakteriosinogenik diidentifikasi sebagai bakteri asam laktat. Isolat NK24, NK34, dan SA72 untuk sementara diidentifikasi sebagai Lactococcus lactis, sedangkan isolat SA131 dikenal sebagai Lactobacillus brevis, berdasarkan database API 50 CHL kit. Semua substansi antimikroba yang dihasilkan dari empat isolat bakteri asam laktat kehilangan semua aktivitas antibakterinya setelah diberi perlakuan dengan beberapa protease, yang menunjukkan sifat protein dalam substansi tersebut. Bakteriosin yang dihasilkan dari isolat NK24, NK34, dan SA72 menunjukkan spektrum aktivitas yang lebar bila dibandingkan dengan yang dihasilkan dari isolat SA131. Semua bakteriosin yang diiisolasi selama berlangsungnya penelitian ini menunjukkan mode penghambatan bakterisidal.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Fermentasi Terhadap Nilai Gizi Ikan

Amano (1962) dalam Heen dan Kreuzer (1962) menyatakan bahwa kecap dan pasta ikan fermentasi dikonsumsi di negara-negara Timur Jauh yang kekurangan protein sebagai pelengkap bagi diet nasi yang monoton. Konsumsi harian individual tidak banyak, tetapi penggunaannya tampaknya bersifat universal, dan perbaikan gizi menjadi nyata. Penelitian dilakukan untuk menguji bagaimana berbagai proses fermentasi mengubah nilai gizi. Produk yang dibuat dengan nama 60 macam dikelompokkan berdasarkan agen penfermentasi utama. Dua kelompok produk tradisional dibahas bersama dengan produk-produk non-tradisional yang dibuat dengan hidrolisis kimia, silase asam, dan sebuah metode "cepat" baru. Hasil penelitian menemukan adanya kehilangan nitrogen selama fermentasi produk tradisional dengan rata-rata sekitar 30 persen. Retensi asam amino tampaknya sangat baik. Minyak ikan fermentasi memiliki nilai gizi yang kecil akibat timbulnya tengik. Arti penting nilai gizi vitamin-vitamin B disimpulkan kecil. Peneliti tidak menemukan laporan kasus keracunan serius akibat mengkonsumsi produk ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai gizi setiap produk adalah terjamin, namun menyarankan untuk segera melakukan pengendalian mutu.

Baca juga :
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Proteolisis dan Penghambatannya Dalam Fermentasi Produk Perikanan

Orejana dan Liston (1982) mempelajari penggunaan enzim proteinase spesifik sebagai agen utama proteolisis dalam fermentasi “patis”. Aktivitas mirip-tripsin yang berkembang beberapa hari setelah fermentasi dimulai, adalah maksimal selama bulan pertama fermentasi kemudian menurun dengan cepat dan tetap rendah selama sisa periode fermentasi. Penurunan ini terutama disebabkan penghambatan oleh akumulasi produk akhir (asam amino dan peptida kecil). Penghambatan awal aktivitas mirip-tripsin mungkin disebabkan oleh adanya penghambat dalam darah ikan atau oleh substansi yang dihasilkan oleh bakteri yang mencemari ikan. Bakteri tidak bertanggung jawab atas proteolisis.

Baca juga :
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Histidin Untuk Mempercepat Proses Fermentasi Produk Perikanan

Sanceda et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan histidin mempercepat hidrolisis protein ikan selama fermentasi dalam pembuatan kecap ikan dan setelah 4 bulan fermentasi menghasilkan sebuah produk tradisional khas berupa kecap ikan. Laju pencairan kecap yang diberi perlakuan histidin adalah lebih cepat daripada kontrol. Derajat hidrolisis jauh lebih besar dalam kecap yang diberi histidin daripada dalam kontrol. Kebanyakan asam amino terdapat dalam jumlah lebih banyak pada kecap histidin dibandingkan pada kecap komersial (sebagai rujukan). Penambahan histidin ke dalam campuran ikan selama fermentasi tidak meningkatkan kandungan histamin pada kecap tersebut.

Baca juga :
Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan

Asam Untuk Mempercepat Autolisis Selama Fermentasi Produk Perikanan

Gildberg et al. (1984) melaporkan bahwa kecap ikan berkualitas tinggi dihasilkan dari ikan anchovies (Stolephorus spp.) yang dibiarkan mengalami autolisis pada pH 4 dan konsentrasi garam rendah. Setelah fase awal autolisis yang cepat, sampel dinetralisir, dan garam ditambahkan sampai ke level normal (250 gram/kg) sebelum kecap ikan dipisahkan dengan cara penghisapan. Dengan metode ini kecap ikan dengan flavour yang dapat-diterima bisa diproduksi setelah dua bulan, padahal lama produksi normal adalah lebih dari 6 bulan. Kecap ikan produksi-cepat ini mengandung asam dan basa volatil (mudah-menguap) dengan konsentrasi lebih rendah, dan komposisi asam-asam amino yang lebih seimbang daripada kecap ikan komersial kelas satu.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...