Rabu, 17 Januari 2018

Bioekologi Bentos

Arsip Cofa No. A 092

Zonasi Bentos di Pantai Berbatu dan Hutan Mangrove

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) penampilan umum pantai berbatu tropis mengikuti pola yang sama seperti daerah berlintang tinggi. Pada bagian terendah yang terpapar, ada zona makroalga kecil (Sargassum, Caulerpa, dan Dictyopteris di Afrika Barat, Sargassum dan Bifurcaria di Galapagos dan Turbinaria di Madagaskar), yang membentuk zona tersendiri dan terdapat bersama dengan berbagai jenis echinoidae, anemon dan zoanthidae. Di atas zona ini adalah zona eulitoral atau litoral-tengah yang didominasi di bagian atas oleh teritip (Chtamalus) dengan Siphonaria, Nerita dan Ostrea di tempat-tempat terlindung dan bagian bawah dihuni oleh alga koralin menghampar dan berbagai jenis moluska (Fissurella, Mytilus, Patella, Thais) dan kepiting. Di atas zona Chtamalus di litoral-tengah terdapat zona-percikan dengan moluska littorinidae dan di atasnya lagi ditempati lichenes (lumut kerak) yang menghampar. Zonasi umum seperti ini terutama dikendalikan oleh derajat keterpaparan (exposure) terhadap pasang surut dan aksi angin. Zonasi ini ditemukan di sepanjang Teluk Guinea, di pesisir Madagaskar, dan Galapagos meskipun tanpa littorinidae atau Nerita, dan diduga juga ada di seluruh tropis.

Longhurst dan Pauly (1987) menambahkan bahwa zonasi seperti tersebut di atas membentang sampai ke tiang-tiang dermaga dan batang mangrove. Zonasi seperti ini di estuaria mempunyai fauna yang berkurang akibat faktor-faktor lingkungan. Pada batang mangrove, terutama dekat sisi luar hutan mangrove, dua dari tiga zona utama pantai berbatu dapat dikenali meskipun dengan beberapa perbedaan besar. Zona littorinidae didominasi oleh spesies Littorina yang mengkhususkan diri terhadap habitat tertentu ini; zona eulitoral didominasi di bagian atas oleh teritip, kadang-kadang oleh spesies yang berspesialisasi terhadap mangrove, dan oleh Ostrea yang tumbuh rapat pada bagian batang yang lebih bawah bersama dengan gastropoda Thais. Di bawah zona ini, bagaimanapun, kondisinya sangat berbeda dengan pantai berbatu dan di tempat tumbuhnya rumpun-rumpun alga merah dan coklat sublitoral, ada fauna lumpur pada kaki batang mangrove dan akar nafas (pneumatofora), termasuk gastropoda, kelomang dan ikan belodok Periopthalmus.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

Selasa, 16 Januari 2018

Pengaruh Lingkungan Terhadap Distribusi Organisme

Arsip Cofa No. A 091

Penemuan Organisme Laut di Luar Daerah Distribusi Normalnya

Longhurst dan Pauly (1987) menyatakan bahwa pengusiran, atau adanya populasi yang “berakhir dengan kematian” yang terdiri dari individu-individu spesies yang tua dan tak bereproduksi yang hidup jauh dari pusat distribusinya, biasanya terlihat dalam data hasil survei plankton regional. Populasi yang terusir ini tidak selalu mudah dibedakan dari spesies kosmopolit (tersebar di seluruh dunia) yang hidup pada kedalaman yang makin dalam ke arah tropis sedemikian hingga tetap ada dalam kisaran toleransi suhunya. Perlu dicatat bahwa tidak hanya plankton saja yang mengalami pengusiran : selama terjadinya El Nino Southern Oscillation (ENSO) spesies-spesies ikan perairan hangat dengan jumlah sangat banyak bergerak ke arah kutub pada arus-arus perbatasan timur, dengan kemampuan memantapkan polulasi baru sebagai respon terhadap perubahan kondisi laut berskala puluhan tahun. Pengusiran organisme “tuna wisma” ini juga terjadi pada ikan demersal, seperti ikan sea bass Eropa (Morone saxatilis) yang tampaknya sehat pernah ada seekor tertangkap oleh trawl di lepas pesisir Nigeria, atau ikan Latimeria chalumnae yang pertama kali tertangkap di Durban, jauh ke arah selatan dari habitat normalnya di Comoro.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 15 Januari 2018

Pernafasan Pada Ikan : Pengaruh Lingkungan dan Faktor Biologi

Arsip Cofa No. A 088

Pernafasan Udara Pada Ikan

Menurut Hickman et al. (2001) ada banyak jenis ikan yang dapat hidup di luar air selama beberapa periode waktu dengan melakukan pernafasan udara. Berbagai organ digunakan oleh berbagai jenis ikan untuk keperluan ini. Alat pernafasan udara berupa paru-paru dimiliki oleh ikan paru, Polypterus, dan sejenis ikan crossopterygii yang telah punah. Sidat air tawar seringkali menjelajahi daratan selama cuaca berhujan, dengan menggunakan kulitnya sebagai permukaan respirasi utama. Ikan bowfin, Amia, mempunyai insang serta gelembung renang yang mirip paru-paru. Pada suhu rendah ikan bowfin hanya menggunakan insang, tetapi ketika suhu dan aktivitas meningkat ikan ini melakukan lebih banyak pernafasan udara dengan gelembung renangnya. Sidat listrik mempunyai insang yang menyusut dan harus melengkapi respirasi insangnya dengan menelan udara melalui rongga mulut yang penuh pembuluh darah. Salah satu ikan yang bernafas udara yang paing baik adalah ikan betok India (Indian climbing perch) yang menghabiskan sebagian besar waktunya di darat dekat tepi perairan dengan melakukan pernafasan udara melalui ruang-ruang udara khusus di atas insangnya yang telah menyusut.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 13 Januari 2018

Morfologi, Anatomi dan Fisiologi Ikan

Arsip Cofa No. A 088

Morfologi Otot Ikan

Smith (1982) menyatakan bahwa otot rangka merupakan sistem organ terbesar pada banyak ikan. Pada ikan salmonidae, otot rangka menyumbangkan sampai 60 % dari bobot tubuh, sedikit lebih kecil dibandingkan pada mamalia. Mungkin mengejutkan bahwa otot rangka sebegitu besar pada ikan mengingat ikan tidak memerlukan penyokong-berat dan penyokong-postur seperti pada manusia. Binatang darat tidak terangkat oleh udara dengan derajat yang hampir sama seperti ikan diangkat oleh air. Bahwa sebagian besar otot rangka ikan berfungsi tidak untuk menyokong berat tetapi untuk mendorong merupakan bukti sangat besarnya upaya yang diperlukan oleh ikan perenang cepat.

Smith (1982) menambahkan bahwa walaupun proses-proses molekular dan selular kontraksi otot pada ikan diduga sama dengan pada vertebrata lain, anatomi kasar otot ikan berbeda jauh dengan vertebrata darat yang banyak dibuat preparatnya di laboratorium. Otot vertebrata “khas” melekat langsung pada tulang dengan satu ujung dan meruncing menjadi tendon khas dengan ujung yang lebih mobil (mudah bergerak). Otot ikan, sebaliknya, membentuk lapisan-lapisan vertikal melintang pada kedua sisi rangka aksial dan jarang menempel langsung pada tulang atau tendon yang jelas. Selain itu, lapisan-lapisan melintang (myomer) ini tersusun zigzag dalam arah anterior-posterior (depan-belakang) menjadi bentuk seperti huruf W agak gepeng yang bahkan menjadi lebih gepeng lagi pad bagian yang dekat rangka dibandingkan pada bagian permukaannya. Fungsi bentuk W ini belum sepenuhnya jelas, namun diduga berfungsi memencarkan kontraksi myomer ke hampir sepanjang tubuh ikan, bukan hanya ke sepanjang myomer tersebut. Myosepta (lapisan putih terdiri dari jaringan penghubung yang terletak antar myomer) tampaknya berfungsi sama seperti fungsi tendon, sehingga kemiringan perlekatannya pada rangka mungkin dimaksudkan untuk mengubah kontraksi otot (yang kurang lebih sejajar dengan rangka aksial) menjadi gerak menyamping/melengkung untuk berenang.

Keanekaragaman Bentuk Badan Ikan

Hickman et al. (2001) menyatakan bahwa tidak ada kelompok binatang utama lain yang bisa menjadi contoh pemencaran adaptif yang lebih baik selain ikan-ikan bertulang sejati. Adaptasi yang dilakukan kelompok ikan ini memungkinkan mereka sesuai untuk hidup di semua habitat perairan kecuali habitat yang memang sangat tidak mendukung. Bentuk badannya sendiri merupakan petunjuk keanekaragaman ikan. Beberapa ikan memiliki bentuk badan fusiform (seperti cerutu) dan mengembangkan adaptasi-adaptasi untuk mengurangi gesekan dengan air. Ikan pelagis predator memiliki badan yang langsing memanjang dengan sirip ekor kuat dan ciri-ciri mekanin lain yang memungkinkannya meluncur cepat. Ikan-ikan pemakan-dasar yang malas bergerak memiliki badan berbentuk gepeng untuk membantu pergerakan dan persembunyiannya di dasar laut. Badan sidat yang panjang merupakan adaptasi agar dapat meliuk-liuk menembus lumpur dan tumbuhan air serta memudahkannya memasuki lubang dan celah. Beberapa ikan, seperti ikan pipa, bentuknya sangat mirip cambuk hingga mereka sering keliru dikira filamen alga laut yang meliuk-liuk terkena arus. Banyak jenis ikan lain dengan bentuk badan yang aneh yang tampkanya merupakan adaptasi pemyamaran atau pengaburan agar tersembunyi dari pemangsa atau agar tidak dikira pemangsa. Contoh-contoh di atas yang masih sedikit ini belum dapat menggambarkan besarnya keaneka ragaman spesialisasi fisiologis dan anatomis untuk tujuan pertahanan diri dan penyerangan, pencarian makanan, navigasi dan reproduksi di berbagai habitat perairan di mana ikan bertulang keras mengadaptasikan diri.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaturan Daya Apung Pada Ikan

Moyle dan Cech (1988) menyatakan bahwa daya apung netral (tanpa bobot) memungkinkan ikan meminimkan kebutuhan energi agar tetap tinggal di kedalaman tertentu untuk mencari makan, bersembunyi, bereproduksi atau bermigrasi. Karena seekor ikan aktif dapat mengeluarkan gaya dorong lebih dari 25 % sampai 50 % berat tubuhnya hanya selama periode yang singkat, maka usaha yang terus-menerus untuk menyokong tubuhnya dengan gerakan otot saja akan sangat membutuhkan banyak energi. Tidak mengherankan, dengan demikian, bahwa berbagai cara untuk memperoleh daya apung netral berkembang pada ikan. Pada dasarnya ada empat strategi untuk mencapai hal ini : (1) pengumpulan sejumlah besar senyawa berdensitas rendah di dalam tubuh; (2) pembangkitan daya angkat dengan membentuk dan membengkokan sirip serta permukaan tubuh selama bergerak maju; (3) mengurangi jaringan yang berat seperti tulang dan otot; dan (4) memanfaatkan gelembung renang sebagai ruang penampung gas berdensitas rendah.

Penggunaan senyawa berdensitas rendah untuk mengurangi densitas total tubuh merupakan ciri khas kebanyakan ikan hiu dan beberapa jenis teleostei. Pada banyak jenis hiu sejumlah besar lipida (berat jenis 0,90 – 0,92) dan senyawa hidrokarbon squalen (berat jenis 0,86) ditemukan terutama dalam hatinya yang besar sehingga seluruh tubuhnya mendekati daya apung netral dalam air laut (1,026). Lagi pula, bentuk sirip ekor hiu yang heteroserkal (belahan sirip ekor atas lebih panjang daripada belahan bawah) bersama dengan pembengkokan sirip dada dan permukaan kepala ke atas memberikan daya angkat tambahan ketika ia berenang. Hambatan hidrodinamik diminimkan pada ikan hiu yang lebih bersifat pelagis, yang memiliki sirip relatif lebih kecil dan hati berlemak yang relatif lebih besar (Moyle dan Cech, 1988).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 11 Januari 2018

Ikan Belanak : Bioekologi, Budidaya dan Penangkapan

Arsip Cofa No. A 088

Distribusi dan Reproduksi Mugil cephalus

Belanak abu-abu (Mugil cephalus) merupakan salah satu ikan laut perairan hangat yang paling populer yang dibudidayakan di daerah tropis dan subtropis. Juvenil spesies ini dikumpulkan dari perairan pesisir antara lintang 42o Lintang Utara dan 42o Lintang Selatan kemudian dibudidayakan di perairan tawar, payau atau laut. Ikan belanak bersifat euryhalin dan menghuni daerah pesisir. Ikan ini dianggap sumber penting protein hewani bagi penduduk sekitar Samudra Pasifik, Asia Tenggara, India, Laut Tengah, Eropa Timur dan banyak bagian Amerika Tengah dan Amerika Selatan. Walaupun penelitian telah dilakukan terhadap perbanyakan buatan ikan belanak dalam kurungan, namun budidaya ikan belanak masih tergantung pada penangkapan juvenil dari laut. Larva ikan belanak produk laboratorium telah dipelihara sampai matang gonad kemudian ikan ini dirangsang untuk memijah. Hasilnya menunjukkan bahwa ikan belanak dapat didomestikasi, yakni bisa matang gonad dan bereproduksi pada kondisi budidaya (Lee dan Tamaru, 1988).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 10 Januari 2018

Kultur Plankton : Perbaikan Teknik Untuk Meningkatkan Kualitas dan Hasil

Arsip Cofa No. A 087

Kultur Alga Bersel Satu, Chlorococcum littorale, Dengan Kepadatan Sangat Tinggi

Hu et al. (1998) melaporkan bahwa untuk menguji kelayakan pemulihan CO2 dengan fotosintesis mikroalga, sebuah modifikasi bioreaktor tipe lempeng-datar telah dirancang untuk kultur alga hijau biru bersel satu yang toleran CO2 berkadar tinggi, yakni Chlorococcum littorale. Reaktor modifikasi ini memiliki sebuah jalur agak sempit di mana arus turbulen intensif yang ditimbulkan oleh arus udara terpadatkan mengalir melalui pipa berlubang-lubang ke dalam media kultur. Panjang jalur tersebut dioptimalkan agar menghasilkan produktivitas biomas yang tinggi. Saling-kaitan antara kepadatan sel dan produktivitas yang dipengaruhi oleh intensitas cahaya, diduga secara kuantitatif. Perubahan ultrastruktur dan biokimia sel sebagai respon terhadap kepadatan sel yang sangat tinggi diteliti. Potensi produksi biomas pada konsentrasi CO2 yang sangat tinggi juga dievaluasi. Dengan menumbuhkan sel-sel Chlorococcum littorale dalam reaktor ini, laju fiksasi CO2 sebesar 16,7 gram CO2/liter/24 jam (atau 200,4 gram CO2/m2/24 jam) dapat dengan mudah dipertahankan pada intensitas cahaya 2000 mikromol/m2/detik pada suhu 25 °C, dan kepadatan sel yang sangat tinggi, lebih dari 80 gram/liter, dapat dipertahankan setiap hari dengan mengganti media kultur.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 09 Januari 2018

Alga : Biologi dan Karakteristik Kimia

Arsip Cofa No. A 086

Ciri Umum dan Kelompok-Kelompok Alga

Moss (1980) menyatakan bahwa “alga” bukanlah satu kelompok taksonomik tersendiri, tetapi merupakan kumpulan, sama seperti “invertebrata”, bagi kelompok filum-filum yang berkerabat dekat. Ciri umum fila alga ini adalah adanya klorofil a, kemampuan memanfaatkan air sebagai donor hidrogen dalam proses fotosintesis, gamet - bila diproduksi – tidak diselubungi oleh sel-sel non produktif, dan membutuhkan habitat air sebagai media pertumbuhannya. Dua kelompok yaitu Cyanophyta (alga hijau biru) dan Prochlorophyta bersifat prokaryotik, jadi memiliki struktur sel yang khas seperti bakteri. Kebanyakan anggota fila Rhodophyta (alga merah) dan Phaeophyta (alga coklat) adalah tumbuhan yang khas karena tidak membutuhkan bahan organik untuk pertumbuhannya.

Batas antara filum-filum alga ini dan filum alga lainnya, yakni yang tergolong dalam kingdom Protista, adalah tidak jelas. Protista, menurut definisi, mencari makan dengan cara campuran yakni gabungan antara cara fotosintesis tapi sangat membutuhkan sedikitnya satu jenis bahan organik (biasanya vitamin), cara fakultatif heterotrofi dengan memanfaatkan bahan organik terlarut, atau - pada beberapa kasus - cara fagotrofi (memakan partikel organik). Tumbuhan hijau tingkat tinggi mungkin berevolusi dari Protista melalui Cyanophyta dengan menanggalkan sifat obligat heterotrof, yakni hanya bersifat autotrof, sedangkan hewan berevolusi dengan menanggalkan semua organ fotosintesis dari kelompok organisme yang tidak khas, sementara Jamur mungkin berasal dari Protista yang kehilangan organ fotosintesis maupun kemampuan fagotrofik (Moss, 1980).

Distribusi Spesies Alga di Kolam Batu Intertidal

Wilson et al. (1992) melaporkan bahwa flora alga telah disampling di 15 kolam batu intertidal; seleksi habitat dilakukan secara seragam di dalam daerah yang terbatas. Distribusi spesies sangat sesuai dengan apa yang diharapkan, yakni acak, baik diuji dengan distribusi asosiasi, dengan fungsi “nesting’ (bersarang), “chequerboarding” ataupun dengan fungsi kejadian. Penjelasan paling sederhana adalah bahwa perbedaan komposisi spesies antar kolam disebabkan oleh kesempatan.

Alga Penempel Batu di Sungai

Pentecost (1992) mengamati pertumbuhan dan distribusi alga endolitik di beberapa sungai di Yorkshire, Inggris. Survei terhadap beberapa sungai kapur di Inggris menunjukkan bahwa empat spesies alga endolitik : Gongrosira incrustans, Hyelia fontana, Phormidium favosum dan Schizothrix perforans tersebar luas dan sering melimpah. Schizothrix perforans mengkoloni substrat batu kapur dalam setahun dan trichomanya menembus 70 mikron ke dalam batu tersebut. Di permukaan batu yang lebih tua, alga endolit menembus sampai 1,3 mm ke dalam batu tetapi jarang di bawah 0,5 mm. Kristal kalsit besar dikoloni setelah tiga tahun terendam air. Semua spesies alga menutupi substrat, yang menunjukkan perilaku endolitik, tetapi zona-zona yang lemah di dalam batu kapur juga dimanfaatkan oleh Gongrosira dan Schizothrix.

Komunitas Alga Pada Sumber Mata Air Panas

Jha (1992) melakukan studi hidrobiologis pada dua mata air panas Rajgir (Suraj Kund dan Chandrakuma Kund), India. Air panas di mata air Rajgur digunakan untuk tujuan minum dan mandi oleh turis. Beberapa karakteristik fisika-kimia (suhu, pH, nitrat, fosfat, dll) air ini bersama dengan parametter-parameter pikologi yakni komposisi komunitas, keragaman spesies, standing crop dll telah diukur dari bulan Juni 1986 sampai April 1987. Air ini kekurangan ion-ion NH4+, NO3- dan PO43-. Mata air panas ini terutama didominasi oleh alga cyanophyceae dan bacillariophyceae. Komuntas alga tersusun dari 18 spesies, dengan cyanophyceae kemudian diikuti bacillariophyceae sebagai kelompok dominan. Sementara Mastigocladus laminosus dan spesies Phormidium dominan di Suraj Kund, spesies Oscillatoria dan Synechococcus mendominasi Chandrakuma Kund. Diatom menyusun sekitar 10 % dari komunitas alga. Walaupun ada perubahan musiman yang nyata dalam hal keragaman spesies komunitas alga, namun total biomas (klorofil-a yang diekstrak per satuan luas dari hamparan alga) tetap konstan.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Komposisi Komunitas Alga di Bendungan

Porras D. et al. (1991) mempelajari komunitas alga di bendungan State of Morelos, Meksiko. Bendungan ini dianggap sebagai salah satu daerah hidrologis yang penting. Ia memiliki luas total 4.958,22 kilometer persegi, total 124 badan air dicakupnya, dengan 69 % di antaranya memiliki bendungan kecil seluas 1 - 10 hektar. Bendungan-bendungan ini terutama dipakai untuk irigasi pertanian dan untuk keperluan ternak. Dalam hal sumberdaya hayati, telah diketahui ada 63 genus alga. Di antaranya, 32 genus adalah chlorophyta, 16 cyanophyta dan 18 bacillariophyceae. Dari kelompok invertebrata air, telah diidentifikasi total 35 genus yang mencakup 27 spesies yang tergolong dalam 7 kelompok. Kelompok invertbrata paling penting adalah rotifera, krustasea dan serangga.

Pola Alokasi Biomas Reproduktif Pada Alga Fucoidae

Mathleson dan Guo (1992) melaporkan bahwa pola-pola alokasi biomas reproduktif (yakni, upaya reproduktif total) untuk delapan spesies alga fucoidae perenial di Atlantik barat daya (Ascophyllum nodosum, Ascophyllum nodosum ecad scorpioides, Fucus distichus ssp. anceps, Fucus distichus distichus , Fucus distichus edentatus, Fucus distichus evanescens, Fucus spiralis dan Fucus vesiculosus) dibandingkan; mereka berasal dari berbagai estuaria dan pesisir terbuka. Tiga pola ruang utama upaya reproduktif total telah ditemukan sepanjang gradien pesisir terbuka-estuaria yang kuat. Beberapa tumbuhan dari lingkungan berenergi tinggi (misal aksi gelombangnya ekstrim dan arus pasang surutnya kuat) tidak tumbuh dengan semestinya dan memiliki upaya reproduktif total yang berkurang, sedangkan pola yang berlawanan ditunjukkan oleh populasi yang terlindung. Ascophyllum dari bagian pesisir yang terbuka banyak dikoloni oleh epifit obilgat, yakni alga merah Polysiphonia lanosa; di sini kepadatan epifit berkorelasi nyata dengan upaya reproduktif total inangnya.

Mekanisme Adaptasi Pada Mikroalga

Fedorov dan Il’Yash (1992) mempelajari laju pertumbuhan tiga spesies dinoflagelata (Prorocentrum micans, Exuviaella cordata dan Glenodinium kovalevskii) dan satu spesies alga chrysophyta (Olisthodiscus luteus) dalam kultur campuran pada media dengan proporsi awal zat hara berbeda-beda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu mekanisme adaptasi yang mendasari strategi hidup kekerasan (violent life strategy) adalah laju pertumbuhan yang tinggi, dengan mempertimbangkan kemampuan persaingan yang kuat. Dari dua spesies yang menggunakan strategi ini (Olisthodiscus luteus dan Glenodinium kovalevskii), yang terakhir ini merupakan pesaing kuat karena laju pertumbuhannya lebih cepat. Olisthodiscus luteus menggunakan strategi kekerasan dalam kultur campuran bersama dengan spesies “penyabar” (Prorocentrum micans) atau spesies “pemanfaat kesempatan” (Exuviaella cordata), tetapi kalah oleh spesies yang tumbuh cepat, yakni Glenodinium kovalevskii. Jadi strategi kekerasan bukanlah sifat suatu spesies, penggunaannya tergantung pada ketersediaan zat hara pembatas.

Komposisi Alga Epifit Pada Tanaman Padi

Azis dan Ahmed (1992) melaporkan bahwa keberadaan dan biomas alga yang tumbuh secara epifit pada tanaman padi berair-dalam telah dipelajari selama satu periode banjir tahun 1985 di dekat Sonargaon, Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa flora epifit didominasi oleh alga hijau-biru, alga hijau dan diatom. Biomas maksimum terlihat pada sekitar 70 hari setelah banjir. Alga hijau-biru heterocystus dominan dan genus paling melimpah adalah Gloeotrichia diikuti oleh Microchaete, Hapalosiphon, Nostoc, dan lain-lain. Aphanothece pallida merupakan satu-satunya alga hijau-biru non heterokista. Alga hijau merupakan kelompok penting berikutnya dengan genus dominan Oedogonium diikuti oleh Spirogyra, Rhizoclonium, Coleochaete dan lain-lain. Gomphonema merupakan satu-satunya genus diatom yang ditemukan sebagai epifit pada tanaman padi berair-dalam.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 08 Januari 2018

Keberadaan Logam Berat di Lingkungan dan Penanganannya

Arsip Cofa No. A 085

Penyingkiran Logam Berat Dari Air Limbah

Goronszy et al. (1992) menyatakan bahwa metode yang paling sering dipakai untuk menghilangkan logam berat dari air limbah adalah dengan mengendapkan logam sebagai hidroksida. Untuk melakukannya, kapur atau kaustik ditambahkan ke air limbah guna menaikkan pH hingga mencapai titik di mana kelarutan logam minimum. Pada nilai pH ini terbentuk partikel-partikel hidroksida logam berukuran kecil. Kelarutan berbagai jenis logam bervariasi tergantung pH. Bagaimanapun, dalam air yang mengandung beberapa jenis logam, yang masing-masing memiliki kelarutan berbeda-beda, pengendapan hidroksida logam akan terbatas. Setelah hidroksida logam terbentuk maka partikel-partikel yang berukuran kecil ini harus digumpalkan atau digabungkan menjadi partikel-partikel yang lebih besar dan lebih berat. Makin berat suatu partikel makin cepat ia mengendap. Hidroksida sering berflokulasi (menarik satu sama lain hingga membentuk gumpalan) tetapi umumnya tidak cukup sempurna untuk dihilangkan. Dalam hal ini, flokulan polimer harus ditambahkan ke dalam air limbah sehingga logam berat berflokulasi serta mengendap dan dapat dipisahkan.

Setelah logam dipisahkan dari air limbah, lumpur (yang masih mengandung 96 – 99 % air) dipindahkan ke tempat pengeringan atau filter hampa udara atau diperas dengan filter press untuk menurunkan kadar airnya, sehingga kandungan airnya tinggal 65 – 85 %. Lumpur yang kadar airnya telah diturunkan ini dapat dijadikan penimbun tanah, tetapi lumpur ini dapat digolongkan sebagai limbah berbahaya, bergantung pada senyawa-senyawa pencemar yang dikandungnya.

Goronszy et al. (1992) menambahkan bahwa meskipun merupakan metode yang paling populer untuk menghilangkan logam, teknik pengendapan hidroksida (hydroxide precipitation) bukanlah satu-satunya cara. Logam dapat juga diendapkan dari air limbah sebagai karbonat atau sebagai sulfida. Pengendapan sulfida mempunyai keuntungan karena sulfida logam memiliki kisaran kelarutan minimum yang lebar. Kerugiannya, lumpur yang dihasilkan lebih sulit untuk diperas airnya daripada lumpur hasil pengendapan hidroksida, selain itu gas yang dihasilkannya berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, pengendapan sulfida hanya digunakan sebagai “jalan pintas” setelah pengendapan hidroksida dilakukan. Ada banyak metode lain untuk menghilangkan logam. Sebagai contoh, beberapa jenis logam seperti arsenik akan dijerap (diadsorpsi) oleh flokulan besi atau tawas yang bekerja pada pH netral. Damar penukar-ion, karbon aktif dan osmosis balik bisa juga dipakai untuk menyingkirkan logam dari air limbah.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Imposeks dan Gangguan Reproduksi Pada Gastropoda

Arsip Cofa No. A 084

Pengaruh Cat Kapal Terhadap Imposeks Pada Gastropoda

Bryan et al, (1986) melaporkan bahwa sebuah survey terhadap gastropoda Nucella lapillus di sekitar bagian barat-daya Inggris menunjukkan adanya “imposeks”, yaitu munculnya ciri-ciri kelamin jantan pada individu betina. Fenomena ini tersebar luas dan semua populasi mengalami imposeks dengan tingkat keparahan bervariasi di mana imposeks paling parah terjadi di sepanjang pesisir selatan Selat Inggris. Populasi gastropoda di dekat pusat pelayaran menunjukkan derajat imposeks terparah, terutama populasi di sekitar estuaria Helford, Fal, Salcombe dan Dart serta di Selat Plymouth dan Teluk Tor. Di Selat Plymouth derajat imposeks meningkat tajam antara tahun 1969 dan 1985 bersamaan dengan meningkatnya penggunaan cat anti fouling (cat yang mencegah melekatnya organisme penempel pada permukaan yang dicat) yang mengandung senyawa tributiltin (TBT). Derajat imposek tidak berhubungan dengan kandungan arsen, kadmium, tembaga, timah hitam, perak dan seng di dalam jaringan gastropoda, tetapi tingkat keparahan imposeks ini meningkat dengan bertambahnya konsentrasi timah. Sebagian besar timah yang ditemukan di dalam jaringan tubuh gastropoda ada dalam bentuk heksana yang dapat-diekstrak yang mencakup fraksi-fraksi tributiltin (TBT) dan dibutiltin.

Bryan et al, (1986) menambahkan bahwa pemindahan Nucella lapillus dari daerah yang “bersih” dengan aktivitas pelayaran rendah ke daerah yang dekat dengan sebuah dermaga di Plymouth menunjukkan peningkatan tajam dalam hal keparahan imposeks pada binatang yang dipindahkan itu; hasil analisis menunjukkan bahwa dari timah heksana yang dapat-disekstrak yang tertimbun di dalam jaringan siput yang dipindahkan itu, 60 – 70 % ada dalam bentuk fraksi TBT. Percobaan laboratorium yang menggunakan kolam pasang-surut menunjukkan bahwa imposeks mudah terjadi dengan memaparkan siput terhadap 0,02 mikrogram/liter timah yang terkikis dari cat antifouling TBT. Diduga bahwa imposeks dapat dialami Nucella lapillus yang terkena timah (dalam bentuk senyawa TBT) pada konsentrasi serendah 1 nanogram/liter.

Perbandingan kelimpahan Nucella lapillus pada masa dahulu dan masa sekarang menunjukkan bahwa banyak populasi gastropoda ini di Inggris barat-daya mengalami penurunan; populasi-populasi ini dicirikan oleh imposeks dengan tingkat keparahan sedang sampai tinggi, jumlah betina yang seringkali lebih sedikit, juvenil jarang ditemukan dan sangat sedikitnya jumlah telur yang dikeluarkan. Penurunan rekruitmen yang lebih disebabkan oleh berkurangnya kapasitas reproduksi daripada oleh meningkatnya laju mortalitas, bertanggung jawab atas berkurangnya jumlah Nucella lapillus. Karena derajat imposeks mudah diukur pada Nucella lapillus dan mungkin berkaitan dengan konsentrasi rata-rata senyawa TBT yang mempengaruhi populasi, spesies ini sangat berpotensi sebagai indikator tingkat pencemaran TBT (Bryan et al., 1986).

Kegagalan Reproduksi Siput Nucella Akibat Imposeks

Gibbs dan Bryan (1986) membahas perkembangan ciri-ciri jantan, terutama penis dan vas deferens, pada individu betina (fenomena yang disebut imposeks) siput Nucella lapillus. Dikenal tiga tahap imposeks : tahap dini yang melibatkan pembentukan vas deferens dan penis kecil, tahap intermediet yang dicirikan oleh pembesaran penis pada individu betina sampai mencapai sebesar penis siput jantan, dan tahap akhir di mana selama tahap ini lubang kelamin betina (vulva) tertutup akibat pertumbuhan jaringan vas deferens yang berlebihan. Penyumbatan saluran oviduct ini menghambat pelepasan kapsul telur sehingga siput betina menjadi mandul. Kisaran dan penyebab kegagalan reproduksi semacam ini dibuktikan oleh banyaknya siput betina dengan kapsul telur tak dapat dikeluarkan dari tubuh pada populasi siput yang jumlahnya makin sedikit yang hidup di dekat sumber pencemaran tributiltin (TBT). Populasi ini memiliki siput betina dengan jumlah lebih sedikit daripada yang diharapkan dan tampaknya bahwa penimbunan kapsul abortus dalam pallial oviduct menyebabkan siput betina mati sebelum dewasa.

Pengaruh Timah Dari Cat Kapal Terhadap Reproduksi Siput Nucella lapillus

Gibbs dan Bryan (1986) menjelaskan bahwa imposeks sekarang diketahui banyak dialami oleh gastropoda stenoglossa, yakni kelompok gastropoda dengan sifat kelamin gonokoris atau dioecious (organ reproduksi jantan dan betina terdapat pada individu yang terpisah). Imposeks dan penyebabnya telah banyak diteliti pada siput lumpur Amerika, Nassarius obsoletus, dan telah ditemukan bukti kuat bahwa imposeks timbul pada siput yang terkena senyawa organotin (timah organik) yang tercuci dari cat pelapis kapal. Disimpulkan bahwa hermaprodit semu semacam ini, yang dicirikan terutama oleh perkembangan penis dan vas deferens (dan juga terpilinnya oviduct yang normalnya lurus) tidak banyak menurunkan kemampuan reproduksi juga tidak mengubah ekologi populasi spesies ini. Bagaimanapun, penelitian lebih lanjut mengenai perkembangan imposeks pada Nucella lapillus membuktikan bahwa fenomena ini menyebabkan kegagalan reproduksi, terutama akibat penyumbatan pallial oviduct.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 06 Januari 2018

Fungsi Ekologis Hutan Bakau

Arsip Cofa No. A 083

Hutan Bakau Sebagai Penghubung Antara Komunitas Darat dan Laut

Menurut Macnae (1968), mangrove adalah pepohonan atau semak-semak yang tumbuh di antara garis pasang purnama dan garis di atas muka laut rata-rata. Mereka tumbuh mengelilingi laut tropis, terutama pada pantai-pantai yang terlindung, dan menjalar sampai ke muara sungai di mana air asin masih bisa masuk. Hutan mangrove yang paling lebat dan paling subur ditemukan di sebagian Asia Tenggara, Malaya, Sumatra dan sebagian Kalimantan di mana curah hujan tinggi dan tidak musiman, tetapi mereka terdapat sebagai semak belukar di pantai-pantai yang tandus. Dalam hutan ini hidup berbagai macam hewan, sebagian dari darat tetapi kebanyakan dari laut. Di antara binatang darat adalah kelelawar buah yang menjadikan pohon mangrove sebagai tempat bertengger, burung pemakan serangga dan ikan serta berbagai jenis serangga. Binatang laut diwakili oleh kepiting dan moluska yang hidup menetap di hutan mangrove, dan udang serta ikan yang masuk ke hutan ini untuk mencari makan ketika air pasang.

Rawa mangrove merupakan jalan masuk dari laut ke darat. Nenek moyang siput pulmonata hidup di rawa mangrove sebelum beradaptasi menjadi hewan darat. Jalan ini juga dilalui oleh kepiting darat serta beberapa jenis ikan. Tetapi rawa mangrove sulit dilalui oleh hewan darat untuk mencoba hidup di laut. Mangrove juga merupakan jalan masuk dari laut ke perairan tawar seperti yang ditempuh oleh siput neritidae, serta merupakan jalan masuk dari perairan tawar ke laut seperti yang dibuktikan oleh banyaknya larva serangga yang mencoba hidup di laut (Macnae, 1968).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Jumat, 05 Januari 2018

Pemanfaatan Bakteri Untuk Mengolah Air Limbah

Arsip Cofa No. A 082

Keuntungan Penanganan Limbah Industri Secara Anaerob

Olthof dan Oleszkiewicz (1982) berpendapat bahwa penanganan limbah industri secara biologis saat ini umumnya dilakukan di dalam reaktor aerob, yang mengubah bahan organik menjadi air dan karbon dioksida dalam keadaan ada udara. Penanganan limbah secara anaerob, sebaliknya, akan mengubah limbah organik menjadi metana dan karbon dioksida dalam keadaan tidak ada udara. Keuntungan penanganan secara anaerob adalah konsumsi energi yang rendah dan dihasilkannya bahan bakar gas yang berguna, yakni metana, daripada penanganan aerob yang menghasilkan lumpur dalam jumlah banyak tapi tak berguna. Selain hemat energi dan produksi lumpur sedikit, keuntungan lain sistem anaerob adalah kemampuan menguraikan senyawa organik komplek pada konsentrasi tinggi, ketiadaan bau busuk dan sesuai untuk dioperasikan secara musiman. Faktor yang menghalangi penerapan sistem anaerob adalah kekhawatiran timbulnya masalah keracunan dan ketidakstabilan sistem tersebut. Sebenarnya, jika dirancang dan dioperasikan dengan baik maka sistem penanganan limbah secara anaerob akan dapat bekerja pada suhu rendah (10 – 30 oC), mampu menahan lumpur senyawa beracun bahkan menguraikannya, prosesnya berjalan stabil meskipun komposisi air limbahnya berubah-ubah, serta efisiensi pengolahan yang setinggi atau bahkan lebih tinggi dibandingkan sistem aerob – dengan volume reaktor yang sama namun biaya operasinya lebih kecil.

Cara Kerja Sistem Anaerob Dalam Penanganan Limbah Industri

Olthof dan Oleszkiewicz (1982) menjelaskan cara kerja sistem anaerob dalam penanganan limbah industri. Pada reaktor anaerob, bakteri mengubah sebagian besar bahan organik yang ada dalam air limbah menjadi gas metana dan karbon dioksida pada kondisi tak ada udara. Jika air limbah cukup pekat, nilai energi gas lebih besar daripada energi yang dibutuhkan untuk mengoperasikan reaktor pada suhu optimal (33 – 35 oC untuk sejenis bakteri anaerob). Penanganan limbah secara aerob membutuhkan banyak udara yang digunakan untuk mengubah sedikitnya 40 – 60 % bahan organik (dinyatakan sebagai COD, Chemical Oxygen Demand) menjadi lumpur dalam jumlah sangat banyak. Dengan kata lain, bakteri aerob menyumbangkan seluruh energinya untuk reproduksi yang menghasilkan sejumlah besar massa sel (lumpur), sedangkan bakteri anaerob menyumbangkan sebagian besar energinya untuk memproduksi metana.

Menurut Olthof dan Oleszkiewicz (1982) operasi sistem anaerob tergantung pada dua parameter : laju penghilangan (degradasi) bahan organik dan laju pertumbuhan biomas (hasil). Laju pembentukan gas juga penting, namun merupakan fungsi dari laju penghilangan dan laju pertumbuhan. Dibandingkan dengan penanganan aerob, sistem anaerob secara khas mempunyai laju penghilangan bahan organik dan laju pertumbuhan yang lebih rendah. Ini berarti bahwa untuk efisiensi penghilangan yang sama (didefinisikan sebagai persentase penurunan Chemical Oxygen Demand) sistem anaerob :

1. Membutuhkan solid residence time (SRT) atau “waktu tinggal padatan” yang lebih lama. Hal ini tidak berarti harus membutuhkan reaktor yang lebih besar karena hydraulic residence time tidak perlu lebih besar.

2. Memproduksi lebih sedikit lumpur. Ini merupakan keuntungan sistem anaerob karena pembuangan lumpur membutuhkan biaya yang cukup banyak.

3. Pemulihan setelah terjadi keracunan berlangsung lebih lambat karena reproduksi bakteri lebih lamban. Namun bakteri anaerob yang menempel pada substrat dapat melindungi dirinya dari racun sehingga menjadi dorman (pasif) bila terkena racun. Pada beberapa sistem, bakteri aktif kembali setelah racun dihilangkan.

Laju pertumbuhan dan penghilangan dipengaruhi oleh berbagai sifat air limbah. Untuk mengetahuinya, adalah penting untuk memahami mekanisme penguraian anaerob. Secara umum ada tiga tahap : hidrolisis padatan tersuspensi,; acetogenesis atau pengubahan bahan organik terlarut menjadi asam lemak yang dapat menguap (terutama asam asetat); dan metanogenesis atau pengubahan asam lemak yang dapat menguap menjadi metana. Acetogenesis dan metanogenesis dilakukan oleh bakteri anaerob yang berbeda (Olthof dan Oleszkiewicz, 1982).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Kamis, 04 Januari 2018

Teknik Pencegahan dan Pemulihan Pencemaran Danau

Arsip Cofa No. A 081

Metode-Metode Pemulihan Danau Tercemar

Jorgensen (1980) menyatakan bahwa saat ini ada banyak metode pemulihan danau. Pemilihan metode yang tepat merupakan salah satu masalah manajemen danau, masalah lainnya adalah penentuan kriteria pemilihan. Metode pemulihan danau dapat dikelompokkan menjadi dua kelas : (1) pengurangan beban masukan dari luar (misalnya pengolahan limbah cair), dan (2) perlakuan di dalam ekosistem danau (misalnya aerasi, penyingkiran lapisan atas sedimen dan lain-lain). Bagaimanapun, seringkali kedua macam metode ini harus dilakukan bersama-sama. Penerapan metode kelas ke-2 sering tidak membawa hasil bila tidak dibarengi dengan usaha pengurangan buangan limbah cair. Metode kelas ke-2 dapat dibagi lagi menjadi : (a) aerasi air, (b) pembalikan massa air hipolimnion, (c) pengendapan fosfor di dalam danau, (d) pengurangan konsentrasi biomas di dalam danau secara langsung, (e) aerasi sedimen, (f) penyingkiran sedimen, (g) penutupan sedimen dan (h) membiarkan air yang tak tercemar masuk ke dalam danau.

Mencegah Air Tercemar Memasuki Danau Sebagai Upaya Pemulihan Danau

Jorgensen (1980) menjelaskan metode pemulihan danau dengan mencegah air tercemar memasuki perairan tersebut sehingga dapat mengurangi beban masukan bahan pencemar dari luar. Hal ini dapat dilakukan dengan mengalirkan limbah ke ekosistem lain, misal ke laut, atau dengan menggunakan metode pengolahan limbah. Dari sudut pandang ekologis yang lebh global, cara pertama ini tidak menguntungkan karena pencemaran tidak dihilangkan melainkan hanya dipindahkan ke ekosistem lain di mana limbah tersebut kurang membahayakan keseimbangan ekologisnya. Bila limbah hanya mengandung sedikit bahan beracun, misalnya limbah domestik, cara tadi mungkin dapat dibenarkan karena ekosistem yang menerima limbah tersebut masih dapat mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Masuknya fosfor, sebagai contoh, ke ekosistem laut mungkin tidak berbahaya, tetapi sebelum memutuskan untuk membuang limbah berfosfor ke laut sebaiknya mempertimbangkan dulu dengan cermat semua dampak yang mungkin timbul.

Kerugian membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau adalah meningkatnya retention time (lama air tinggal di danau sebelum dialirkan keluar); hal ini bisa menyebabkan upaya pemulihan danau menjadi kurang berpengaruh. Selain itu, koordinasi pasokan air dan perencanaan pengelolaan air limbah tidak boleh dilupakan. Membelokkan aliran limbah sehingga tidak masuk ke danau berarti menutup sebuah sumber air mentah bagi danau tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa membelokkan aliran limbah sehingga langsung masuk ke laut merupakan pilihan yang salah. Beberapa tahun setelah membuang limbah ke laut maka timbul pencemaran di laut meski danau masih bisa dimanfaatkan sebagai pemasok air (Jorgensen, 1980).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 02 Januari 2018

Bioekologi dan Sumberdaya Hayati Ikan

Arsip Cofa No. A 080

Ikan Belut Neenchelys dari Laut Banda

Satu spesimen tunggal ikan belut ophichthidae telah ditangkap dengan trawl dari Samudra Pasifik di lepas pantai Teluk Suruga, Jepang Tengah, selama perjalanan kapal R/V Tansei-Maru dari Ocean Research Institute, Universitas Tokyo pada tahun 1983. Ikan ini memiliki sirip ekor pendek tetapi ada jari-jari siripnya, sirip dada berkembang baik, dan sebuah lubang hidung mirip celah pada sisi kepala di atas bibir; semuanya merupakan ciri-ciri yang sesuai dengan ikan Neenchelys menurut McCosker (1977, 1982). Meskipun memiliki lebih banyak ruas tulang belakang (vertebrae) dan lubang-lubang indra di kepala daripada tipe Neenchelys daedalus McCosker, 1982, Machida dan Ohta (1993) mengidentifikasi ikan sample ini sebagai Neenchelys daedalus. Ini merupakan penemuan pertama ikan dari genus ini di Jepang, karena selama ini Neenchelys daedalus hanya dikenal dari Papua Nugini dan Laut Banda (Machida dan Ohta, 1993).

Baca juga
Bioekologi dan Dinamika Populasi Ikan Layang (Decapterus)

Asosiasi Ikan Demersal di Terumbu Karang Atlantik Tropis

Mengingat bahwa habitat terumbu karang, batu dan pasir di Atlantik barat relatif lebih luas dibandingkan Atlantik timur, maka komunitas ikan lutjanidae relatif lebih penting daripada di Teluk Guinea, namun mereka lebih seragam dibandingkan dengan komunitas ikan sciaenidae yang bersesuaian, yang secara regional lebih beraneka ragam daripada di Teluk Guinea. Di Campeche Bank, penelitian menunjukkan adanya tiga asosiasi spesies di mana pada ketiganya ikan lutjanidae, sparidae dan pomadasyidae terdapat bersama-sama; “spesies inti” pada ketiga kelompok ini adalah (1) Haemulon aurolineatum, Lagodon rhomboides dan Calamus bajonado, (2) Ocyurus chrysurus, Haemulon plumieri, Lutjanus synagris, Anisotremus virginicus, Lachinolamus maximus, Priacanthus arquatus, dan Aluter shoepferi, dan (3) Priacanthus arenatus, Sphaeroides spengleri, Diplectum formosum, Chaetodon ocellatus, dan Acanthostracion quadricornis. Dua asosiasi yang pertama terdapat di perairan yang lebih dangkal daripada asosiasi ketiga, namun tidak mudah untuk menentukan hal ini berdasarkan informasi yang terbatas tersebut; tampaknya ada kemiripan dengan komunitas yang ada di daerah subtropis Atlantik timur di lepas pantai Mauritania dan Senegal di mana habitat dasar perairan yang berpasir dan bersubstrat keras didominasi oleh ikan-ikan sparidae, lutjanidae dan genus-genus yang berasosiasi dengannya (Longhurst dan Pauly, 1987).

Menurut Longhurst dan Pauly (1987) asosiasi ikan terumbu karang dan daerah berpasir di sekitar terumbu karang banyak terdapat di Atlantik barat : di pulau/karang dan pesisir Florida, Bahama, Antilles dan Cuba, dan pesisir Amerika dari Yucatan sampai Amerika timur. Seperti pada kasus karang hermatipik, tampaknya ada celah besar dalam hal distribusi mereka di paparan benua yang dipengaruhi oleh air buangan Sungai Amazon sedemikian hingga populasi yang berasosiasi dengan terumbu karang di pesisir Brazil di selatan Amazon adalah secara efektif terpisah, meskipun ikan Lutjanidae ditemukan di paparan benua yang dalam di Guyana. Bagaimanapun, survei trawl di paparan benua yang dalam di Amazonia pada kedalaman 40 – 80 meter menunjukkan keberadaan banyak spesies ikan karang (atau komunitas ikan lutjanidae) di dasar perairan yang didominasioleh sepon epibentik. Spesies-spesies ikan seperti Gymnothorax, Apogon, Epinephelus, Diplectrum, Serranus, Haemulon dan genus-genus lain telah ditemukan di sana dan hal ini menjadi bukti kuat bahwa tidak ada rintangan bagi distribusi ikan-ikan karang di antara Brazil dan Karibia, seperti yang terlihat pada kasus karang hermatipik.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Biologi Reproduksi Anemonfish, Amphiprion

Hirose (1995) mengulas literatur-literatur mengenai bioekologi ikan anemonfish, Amphiprion. Anemonfish merupakan “obligate symbiont” (simbion wajib) penghuni anemon laut besar dan tersebar terutama di terumbu karang Indo-Pasifik Barat. Anemonfish biasanya hidup dalam kelompok yang terdiri dari sepasang pemijah monogami dan beberapa juvenil. Sedikitnya 8 dari 28 spesies anemonfish bersifat hermaprodit protandri yang mengalami perubahan jenis kelamin dari jantan ke betina, dan ikan juvenilnya memiliki gonad ambisexual (berkelamin dua). Anemonfish jarang berpindah antara anemon laut, dan biasanya hidup dalam kelompok-kelompok terpisah. Pada kondisi seperti ini, protandri mungkin berfungsi menjamin perkawinan di dalam suatu kelompok terisolasi tanpa harus menunggu imigrasi ikan dewasa. Dua orang peneliti, Fricke dan Fricke, pada tahun 1977 mengeluarkan hipotesis sebagai berikut (1) karena keterbatasan ukuran individu anemon laut maka tidak lebih dari dua ikan anemonfish dewasa hidup bersama-sama; (2) Ketika pasangan kawin menghilang, posisi yang kosong ini sulit digantikan oleh ikan dari anemon laut lain; (3) bila ikan betina lenyap, ikan jantan mengubah jenis kelaminnya menjadi betina dan ikan juvenil segera menjadi jantan fungsional. Jadi, pembentukan pasangan baru selalu disertai oleh perubahan jenis kelamin atau diferensiasi seks pada suatu kelompok terisolasi.

Hirose (1995) melaporkan bahwa kepadatan populasi anemon laut adalah tinggi di perairan laut beriklim-sedang di selatan Jepang dan ikan anemonefish (Amphiprion clarkii) tidak selalu hidup di dalam kelompok terisolasi. Pada gerombolan anemon laut di Miakejima, Jepang, ikan Amphiprion clarkii hidup di dalam kelompok yang mencakup lebih dari dua ikan dewasa bersama juvenil-juvenil. Pasangan Amphiprion clarkii di laut Uwa, sebelah barat pulau Shikoku, memantapkan teritorial (wilayah kekuasaan) yang berdampingan sedangkan ikan juvenil memiliki kisaran rumah di dekat tepian teritorial pasangan ikan dewasa. Pada kondisi seperti ini, ikan dewasa Amphiprion clarkii sering berpindah dari satu anemon ke anemon lainnya, dan perubahan jenis kelamin ikan tersebut jarang terjadi setelah pasangan kawin hilang.

Pola Pembentukan Pasangan Kawin Pada Ikan Anemon Amphiprion

Hirose (1995) melaporkan bahwa di pulau Sesoko, Jepang, stok ikan anemon telah diamati selama 2 tahun dalam suatu daerah seluas 350x150 meter di mana jumlah anemon laut inang jarang. Sekitar 40 % pasangan ikan anemon menjadi terpisah, terutama akibat serangan angin topan atau pengusiran. Ikan janda tetap tertinggal dan memperoleh pasangan kawin baru pada anemon laut yang sama, kecuali untuk satu kasus. Pasangan kawin baru ini merupakan ikan dewasa imigran untuk Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus, tetapi merupakan ikan juvenil penghuni lokal untuk Amphiprion perideraion. Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus berpindah dari satu anemon laut ke anemon laut lain dan kadang-kadang dilakukan dengan mengusir ikan berjenis kelamin sama berukuran lebih kecil, tetapi Amphiprion perideraion jarang berpindah. Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ini berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara juvenil terbesar pada kelompok pemijahan dengan panjang minimum ikan jantan pemijah. Perbedaan mobilitas ini juga berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara jantan pemijah dan panjang minimum betina pemijah. Pada Amphiprion perideraion kedua macam perbedaan ini kecil, sehingga pasangan dapat dibentuk dengan cepat oleh ikan-ikan penghuni lokal segera setelah pasangan kawin hilang. Sebaliknya, pada Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus, salah satu atau kedua macam perbedaan tersebut besar dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk membentuk pasangan setelah pasangan kawin hilang. Perbedaan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan, dan dengan demikian mempengaruhi komposisi ukuran anggota-anggota dalam kelompok pemijahan.

Setelah ikan jantan hilang, seringkali akibat serangan angin taufan, ikan-ikan janda/duda tetap tinggal dan memperoleh pasangan kawin baru pada anemon laut yang sama kecuali untuk satu kasus. Pasangan kawin baru ini selalu berupa ikan dewasa imigran pada Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii, tetapi berupa juvenil penghuni lokal pada Amphiprion perideraion. Beberapa ikan dewasa Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii, yang telah menjadi sendirian atau yang anemon lautnya terganggu, berpindah dan mengusir ikan berjenis kelamin sama yang lebih kecil lalu berpasangan dengan pasangan yang ditinggalkan ikan kecil tadi; beberapa ikan yang diusir ikan dewasa juga berpindah dan mengusir ikan lain yang lebih kecil lagi. Sebaliknya Amphiprion perideraion jarang berpindah dalam daerah yang sama, jadi perbedaan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan kawin pada anemonefish.

Bila salah satu pasangan kawin menghilang, perubahan jenis kelamin dan diferensiasi jenis kelamin pada ikan yang masih ada diyakni sebagai satu-satunya cara untuk membentuk pasangan baru, karena jarangnya distribusi anemon laut dan tingginya tekanan pemangsaan pada terumbu karang yang akan menghambat imigrasi ikan dewasa. Hanya pada populasi Amphiprion clarkii di daerah beriklim sedang, ikan dewasa berpindah dari satu anemon laut ke anemon laut lain dan membentuk pasangan baru. Mobilitas Amphiprion clarkii disebabkan oleh faktor lingkungan, tingginya kepadatan inang dan rendahnya tekanan pemangsaan di daerah yang beriklim sedang. Bagaimanapun, penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Amphiprion clarkii dan Amphiprion frenatus berpindah di antara aemon-anemon laut yang tersebar jarang di terumbu karang; perubahan dan diferensiasi jenis kelamin jarang terjadi pada ikan yang tetap tinggal setelah pasangan kawinnya hilang pada kedua spesies anemonefish ini. Di daerah yang sama, Amphiprion perideraion jarang berpindah; pasangan-pasangan baru terbentuk melalui perubahan dan diferensiasi jenis kelamin ikan yang tertinggal setelah pasangan kawinnya hilang.

Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ikan anemon ini berhubungan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara ikan rangking ke-3 (gamma) pada kelompok pemijahan dan panjang minimum ikan jantan pemijah. Pada pasangan anemonefish pemijah, ikan betina selalu lebih besar daripada ikan jantan. Ikan betina dominan mungkin menghambat pertumbuhan ikan-ikan subdominan dalam kelompoknya. Sebaliknya, ikan jantan seringkali menghilang setelah serbuan angin taufan. Untuk menjamin perkawinan setelah pasangan kawin hilang, ukuran tubuh ikan rangking ke-3 (gamma) mungkin penting bagi ikan betina. Bila ukuran tubuh individu gamma mendekati ukuran minimum ikan jantan pemijah, ikan betina segera memijah dengannya tanpa menunggu imigran atau mencari pasangan kawin lain. Perbedaan rata-rata terhadap ukuran minimum ikan jantan pemijah paling kecil pada individu gamma Amphiprion perideraion , yang juga menunjukan mobilitas terendah. Sebaliknya, Amphiprion frenatus dan Amphiprion clarkii memiliki mobilitas tinggi dan individu-individu dalam kelompok pemijahan jauh lebih kecil daripada ukuran minimum ikan jantan pemijah. Dengan demikian, pada Amphiprion perideraion ikan betina pemijah bisa mentoleransi kehadiran individu-individu gamma yang paling siap menggantikan ikan jantan sebagai pejantan cadangan, karena imigrasi ikan dewasa tidak bisa diharapkan akibat rendahnya mobilitas mereka.

Perbedaan mobilitas di antara ketiga spesies ini juga berkaitan dengan perbedaan rata-rata panjang baku antara jantan pemijah dan ukuran minimum ikan betina pemijah. Ikan betina pemijah seringkali hilang setelah serangan angin taufan. Bila ukuran tubuh ikan jantan mendekati ukuran minimum ikan betina pemijah, maka ikan jantan ini segera mengubah jenis kelaminnya sebagai betina agar bisa memijah setelah ikan betina lenyap, di mana ikan rangking ketiga (gamma) juga mendejati ukuran minimum ikan jantan pemijah. Situasi seperti ini terbatas hanya pada Amphiprion perideraion, yang menunjukkan mobilitas paling rendah. Pada Amphiprion clarkii ukuran ikan jantan rata-rata sedikit lebih besar daripada ukuran minimum ikan betina pemijah, tetapi individu gamma jauh lebih kecil daripada ukuran minimum ikan jantan pemijah, dan dengan demikian ikan jantan harus berpindah atau menunggu ikan imigran agar bisa memperoleh pasangan kawin baru setelah pasangan kawin sebelumnya hilang. Belum diketahui mengapa perbedaan rata-rata antara ikan jantan pemijah dan ukuran minimum ikan betina pemijah jauh lebih besar pada Amphiprion frenatus daripada Amphiprion clarkii, yang keduanya menunjukkan mobilitas lebih tinggi.

Penelitian ini menunjukkan bahwa mobilitas anemonefish sangat berbeda di antara ketiga spesies. Perbedan mobilitas mempengaruhi pola pembentukan pasangan kawin, dan dengan demikian juga mempengaruhi komposisi ukuran suatu kelompok pemijahan pada anemonefish (Hirose, 1995).

Baca juga
Ikan Kembung (Rastrelliger) : Distribusi, Migrasi, Pemijahan, Makanan dan Pertumbuhan

Bioekologi Ikan Amia

Hegner (1946) menjelaskan bioekologi ikan Amia sebagai berikut. Ikan Amia atau bowfin (“sirip melengkung”) atau freshwater dogfish termasuk fosil hidup. Sirip ekor bundar dan panjang sirip punggung separuh panjang badan. Moncong pendek, kepala ditutupi oleh semacam topi baja bertulang yang keras. Ikan jantan memiliki sebuah bercak hitam dengan tepian oranye pada pangkal ekor. Bowfin mencapai panjang 75 cm dan berat sekitar 6 kg. Memiliki rahang yang kuat dengan gigi tajam. Kebuasannya menyebabkan ia pantas dijuluki “serigala air tawar”. Seperti halnya ikan gar, gelembung renang digunakan untuk bernafas, oleh karena itu bowfin sekali-kali muncul ke permukaan air untuk mengambil udara. Ia sanggup hidup di dalam air yang sangat kotor, atau dalam lumpur sekalipun, karena ikan ini dapat hidup lama tanpa ,menggunakan insangnya. Anak ikan bowfin merupakan umpan yang bagus untuk ikan pickerel dan ikan karnivora lainnya karena dapat hidup berjam-jam meskipun tengkoraknya ditembus kait pancing.

Bowfin hidup di Amerika Serikat bagian timur dan tengah, di danau dan perairan tenang, terutama di tempat-tempat yang berumput. Nama-nama lokal diberikan kepadanya sesuai dengan perilaku ikan ini, seperti mudfish (ikan lumpur), freshwater dogfish dan grindlefish. Kebiasaan ikan bowfin beranak sungguh aneh; yang jantan membersihkan suatu daerah melingkar di antara rerumputan untuk sarangnya. Telur-telur diletakkan di sini dan menjadi melekat pada dasar. Kemudian ikan jantan menjaga telur, juga anak-anaknya yang masih kecil hingga mereka sepanjang kurang lebih 10 cm. Bowfin bukanlah hidangan yang amat lezat, namun enak dimakan jika diasapi. Di Luisiana ikan bowfin kering digunakan untuk membuat baso ikan dan jambalaya. Memancing ikan bowfin merupakan olah raga yang menyenangkan; sebagai umpan bisa digunakan kodok atau ikan minnow (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Pengisap (Sapu-Sapu)

Menurut Hegner (1946) hari-hari yang paling menyenangkan dalam kehidupan banyak anak kecil adalah pada awal musim semi ketika ikan sucker (ikan pengisap/sapu-sapu) naik ke anak sungai untuk bertelur. Pada waktu itu mereka dapat ditangkap dengan kait berumpan cacing tanah atau perangkap dengan jerat kawat. Ketika itu pula para nelayan yang serakah dapat merasa puas karena mudah menangkap ikan dalam jumlah cukup banyak. Ikan pengisap, dinamai demikian karena bibirnya tebal, berdaging dan dapat ditonjolkan serta digunakan untuk menghisap makanan dari dasar perairan. Ada sekitar 17 spesies ikan pengisap, beberapa hidup di Asia, sisanya di Amerika Utara. Mereka semua hidup di sungai dan danau. Common Sucker adalah salah satu jenis ikan pengisap yang paling umum dijumpai dan tersebar luas di Amerika Serikat. Panjangnya mencapai hampir 60 cm dengan berat 2,5 kg. Dagingnya enak tetapi sulit dimakan karena banyak sekali tulangnya. Setiap tahun sekitar 2,5 juta kg ikan ini ditangkap dan dipasarkan di Amerika Serikat. Anggota-anggota lain famili ikan pengisap adalah ikan stone roller, red horse, black sucker dan buffalo fish. Red horse mencapai berat 2,5 atau 3 kg dan merupakan ikan terbesar yang dapat ditangkap oleh anak kecil (Hegner, 1946).

Ikan Mas

Hegner (1946) menyatakan bahwa jika binatang dipindahkan dari satu negara ke negara lain, kadang-kadang ia mati di tempat baru tersebut. Namun ada pula yang tetap hidup, misalnya ikan mas. Daerah asalnya adalah Asia, dan sebuah keterangan tentang pemeliharaan ikan mas telah ditulis oleh orang Cina pada awal abad ketiga. Dari Asia, ikan mas dimasukkan ke Eropa dan pada tahun 1877 diperkenalkan ke Amerika Serikat oleh Biro Perikanan Amerika Serikat. Dengan segera hampir setiap danau dan sungai yang sesuai di negara tersebut dihuni oleh ikan mas. Hidupnya ulet, bahkan dapat hidup di sungai dan kolam yang berlumpur di mana ikan-ikan lain tidak dapat hidup.

Rata-rata badan ikan mas dewasa seberat 2,5 sampai 5 kilogram, tetapi ada yang bisa mencapai 15 kg atau lebih. Seekor ikan mas seberat 2 atau 2,5 kg sanggup bertelur sebanyak 400.000 sampai 500.000 butir. Ikan mas makan rumput dan seledri liar yang juga dimakan itik, sehingga ikan ini dituduh menurunkan populasi unggas tersebut. Ikan mas juga suka mengaduk-aduk lumpur dan membuat air menjadi keruh sehingga tidak sesuai bagi ikan lain. Dagingnya kasar dan tanpa aroma, namun dimanfaatkan secara luas sebagai makanan. Rata-rata lebih dari 12,5 juta kg daging ikan ini dikapalkan untuk dipasarkan dari Central State setiap tahun. Setiap tahun United States Bureau of Fisheries menebarkan jutaan benih ikan mas ke sungai-sungai dan kolam (Hegner, 1946).

Baca juga
Ikan Kowan (Ctenopharyngodon idellus) : Biologi dan Pengaruhnya Terhadap Ekologi Perairan

Bioekologi Ikan Lele dan Kerabat-Kerabatnya

Alat peraba yang panjang dan ramping, atau kumis, menjulur dari depan kepala ikan lele dan kerabat-kerabatnya, hal ini mengillhami nama catfish untuk famili ikan ini. Lebih dari seribu spesies ikan lele telah dikenal, di antaranya 30 spesies hidup di perairan tawar Amerika Serikat, meskipun tak satu pun yang terdapat di daerah sebelah barat Rocky Mountain sehingga mereka didatangkan ke sana. Beberapa spesies ikan lele yang besar adalah blue catfish, yang mencapai berat 75 kilogram, channel catfish dan mud catfish, atau yellow cat.

Ikan common bullhead atau horned pout adalah semacam ikan lele kerdil yang panjang maksimumnya hanya 18 inci. Kulitnya tak bersisik, mata kecil, sirip atas dekat ekor tak berjari-jari dan dikenal sebagai “adipose fin” (sirip lemak), yang mengandung lemak. Duri pertama pada sirip punggung dan sirip dada berupa sebuah duri tajam yang beracun dan bisa menyebabkan luka yang menyakitkan.

Ikan bullhead menyukai kolam dan sungai berarus tenang yang dasarnya berlumpur sebagai tempat hidup. Makanan dicari dengan bantuan sungut yang peka sementara ikan ini meluncur pelan-pelan sepanjang dasar perairan. Semua hewan yang berukuran kecil, yang masih hidup atau sudah mati, ditelan oleh mulutnya yang lebar tanpa memperdulikan sudah berapa lama mangsanya itu mati. Ikan bullhead bertampag jelek dan mengerikan, sehingga dilukiskan oleh Thoreau, seorang ahli zoologi seabagai ”seekor pengembara yang haus darah dan suka marah, dan senantiasa bersiap-siap menyerang tetangga terdekatnya”. Ikan ini merupakan binatang malam dan hidup di perairan kotor di mana ikan-ikan lainnya tidak dapat hidup di situ; sekali-kali ia muncul ke permukaan perairan untuk menelan udara agar masuk ke dalam gelembung renangnya yang besar.

Mahluk seram seperti ini rupanya juga menunjukkan kecemasan terhadap nasib anak-anaknya yang jumlahnya agak sedikit. Induk jantan merawat telur dan anak-anaknya, kadang-kadang memasukkan meeka ke dalam mulut, mungkin dengan maksud membersihkan mereka, meskipun tak seorang pun yang tahu berapa banyak anak yang tertelan. Seperti ikan mas, bullhead sangat ulet hidupnya dan mampu hidup di luar air untuk waktu yang lama asalkan insangnya selalu lembab. Mereka dapat ditangkap dengan hampir semua umpan, malah begitu rakus hingga menelan kait. Secara umum ikan lele merupakan bahan makanan yang disukai dan menjadi komoditi dagang yang penting (Hegner, 1946).

Baca juga
Perikanan dan Permasalahannya di Indonesia

Bioekologi Ikan Stickleback

Kebiasaan membangun sarang dan seringnya bertengkar menempatkan ikan stickleback sebagai ikan yang sangat menarik. Ikan brook stickleback mendiami anak-anak sungai yang dingin dan jernih di Amerika Serikat, dari sebelah barat New York sampai ke Kansas dan ke arah utara. Panjang badan ikan ini hanya 2,5 inci. Menjelang musim berkembang biak, ikan jantan membangun sebuah sarang yang ditempatkan di antara batang-batang tumbuhan air yang direkatkan dengan benang-benang seperti sutera mirip benang sarang laba-laba. Benang ini dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar yang hanya ada pada ikan jantan. Sarang memiliki dua lubang sehingga aliran air dapat memasukinya. Sesudah sarang disiapkan, ikan jantan mengajak ikan betina untuk masuk ke dalamnya. Ikan stickleback jantan kemudian menjaga sarang tersebut setelah telur diletakkan dan anak-anaknya menetas.

Brook stickleback tergolong ikan aktif dan serakah. Makannya berupa binatang lain yang berukuran kecil, terutama anak ikan lain. Rahangnya keras dengan gigi-gigi tajam. Pada punggungnya terdapat lima duri kuat dan runcing yang dapat ditegakkan bila ada bahaya serta dapat dibiarkan tetap berdiri dengan semacam kunci yang ada pada pangkal duri. Duri dan gigi tersebut, ditambah dengan kebiasaan bertengkar membuat ikan ini menjadi salah satu jago berkelahi terbaik di antara seluruh binatang air yang seukuran dengannya. Mereka akan menyerang ikan yang lebih besar dan mempreteli sirip-siripnya. Pada musim semi ikan-ikan stickleback jantan saling berkelahi satu sama lain, kadang-kadang sampai salah satu fihak mati terbunuh.

Fighting fish (ikan cupang) dari Siam (Thailand) mirip dengan stickleback dalam hal kemampuannya berkelahi. Mereka dipelihara untuk aduan dan diletakkan di dalam mangkuk gelas. Jika dua ekor ikan ini ditempatkan dalam satu wadah, mereka akan saling menyerang dengan duri dan gigi hingga salah satu di antaranya kalah (Hegner, 1946).

Bioekologi Ikan Whitefish

Whitefish terdapat di seluruh daerah Great Lake. Mulut ikan ini terdapat di sisi bawah tubuhnya. Krustasea, moluska dan binatang-binatang lain yang menjadi mangsanya dicarinya di dasar perairan. Selama musim dingin mereka menyukai perairan yang dalam, namun pada musim semi mereka berpindah ke bagian perairan yang dangkal untuk mencari larva serangga yang saat itu melimpah. Selanjutnya ikan ini bermigrasi ke perairan dangkal lagi pada musim gugur untuk bertelur. Telur-telur diletakan di atas sarang batu. Di antara telur tersebut banyak yang tertimbun lumpur atau dimangsa oleh mud puppy (sejenis salamander), ikan yellow perch dan udang crayfish sehingga sangat sedikit telur yang berhasil berkembang menjadi ikan dewasa. Oleh sebab itu pemerintah setiap tahun mengumpulkan, memelihara dan menebarkan jutaan benih ikan ini. Whitefish ditangkap di perairan dalam dengan jaring insang, yang menjerat ikan tepat di belakang tutup insang. Berat rata-rata ikan ini sekitar 2 kg, tetapi mungkin ada yang seberat 10 kg. Ikan penghuni Great Lake ini digemari oleh penduduk pedalaman sebagai makanan (Hegner, 1946).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...