Sabtu, 22 Agustus 2015

Produk Ikan Fermentasi

Arsip Cofa No. C 196

Bakteri Asam Laktat Dalam Produk Fermentasi Ikan Tradisional

Produk perikanan fermentasi tradisional bergaram-rendah di Thailand yang dikenal dengan nama “som-fak” mengandung bakteri asam laktat baik pada bahan-bahan mentahnya maupun pada som-fak itu sendiri. Paludan-Müller dan Gram (1999) melaporkan bahwa bakteri asam laktat yang diisolasi dari bahan-bahan mentah (ikan, beras, bawang putih dan daun pisang) dan som-fak olahan telah ditentukan karakteristiknya dengan API 50-CH dan kriteria fenotipik lainnya. Bakteri Lactococcus lactis subsp. lactis dan Leuconostoc citreum berasosiasi secara spesifik dengan filet ikan dan ikan cincang, Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dengan beras dan Weisella confusa dengan daun pisang dan campuran bawang putih. Selain itu, Lactobacillus plantarum, Lactobacillus pentosus dan Pediococcus pentosaceus telah diisolasi dari bahan-bahan mentah. Suksesi spesies lactobacillus yang bersifat homofermentatif-aciduric, yang didominasi oleh Lactobacillus plantarum/pentosus, ditemukan selama fermentasi. Secara total, 9 % galur menfermentasi zat pati dan 19 % menfermentasi bawang putih, dua komponen utama som-fak. Kemampuan untuk menfermentasi bawang putih diimbangi oleh kemampuan menfermentasi inulin. Peningkatan persentase galur yang menfermentasi bawang putih ditemukan selama fermentasi som-fak, dari 8 % pada hari ke-1 menjadi 40 % pada hari ke-5. Selama fermentasi tidak terisolasi galur yang menfermentasi zat pati.

Tiga kultur campuran bakteri asam laktat, yang terdiri dari Lactobacillus paracasei subsp. paracasei dan Lactobacillus lactis subsp. lactis yang menfermentasi zat pati, atau Pediococcus pentosaceus dan Lactobacillus plantarum yang menfermentasi bawang putih, atau kombinasi galur-galur ini diinokulasikan pada som-fak buatan laboratorium dengan atau tanpa bawang putih. Pada som-fak tanpa bawang putih, pH di atas 4,8 setelah 3 hari, tanpa terpengaruh oleh penambahan kultur campuran bakteri asam laktat. Bakteri asam laktat penfermentasi zat pati tidak dapat menfermentasi som-fak dan indikasi pembusukan secara inderawi timbul setelah tiga hari. Fermentasi dengan campuran gabungan galur-galur penfermentasi zat pati dan bawang putih menyebabkan produksi 2,5 % asam dan penurunan pH menjadi 4,5 dalam dua hari. Fermentasi sedikit lebih lambat bila menggunakan galur penfermentasi bawang putih saja. Ini merupakan laporan pertama yang menjelaskan peranan bawang putih sebagai sumber karbohidrat bagi bakteri asam laktat dalam menfermentasi produk perikanan (Paludan-Müller dan Gram, 1999).

Baca juga :
Ikan Asap : Keberadaan Senyawa dan Jamur Berbahaya

Bakteri Penghasil Bakteriosin Dalam Produk Ikan Fermentasi

Menurut Lee et al. (2000) bakteriosin diklasifikasikan sebagai protein yang diproduksi oleh kelompok-kelompok bakteri heterogen, yang mempunyai efek antimikroba terhadap organisme yang berkerabat dekat. Baru-baru ini, bakteriosin yang berasal dari bakteri asam laktat dan organisme lain terkait-makanan menjadi subyek banyak penelitian mengenai potensi pengawetan makanan secara biologis. Tujuan studi ini adalah untuk memilih dan mempelajari karakteristik bakteri asam laktat penghasil bakteriosin dari Jeot-gal (produk perikanan fermentasi komersial di Korea). Semua isolat bakteriosinogenik diidentifikasi sebagai bakteri asam laktat. Isolat NK24, NK34, dan SA72 untuk sementara diidentifikasi sebagai Lactococcus lactis, sedangkan isolat SA131 dikenal sebagai Lactobacillus brevis, berdasarkan database API 50 CHL kit. Semua substansi antimikroba yang dihasilkan dari empat isolat bakteri asam laktat kehilangan semua aktivitas antibakterinya setelah diberi perlakuan dengan beberapa protease, yang menunjukkan sifat protein dalam substansi tersebut. Bakteriosin yang dihasilkan dari isolat NK24, NK34, dan SA72 menunjukkan spektrum aktivitas yang lebar bila dibandingkan dengan yang dihasilkan dari isolat SA131. Semua bakteriosin yang diiisolasi selama berlangsungnya penelitian ini menunjukkan mode penghambatan bakterisidal.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Pengaruh Fermentasi Terhadap Nilai Gizi Ikan

Amano (1962) dalam Heen dan Kreuzer (1962) menyatakan bahwa kecap dan pasta ikan fermentasi dikonsumsi di negara-negara Timur Jauh yang kekurangan protein sebagai pelengkap bagi diet nasi yang monoton. Konsumsi harian individual tidak banyak, tetapi penggunaannya tampaknya bersifat universal, dan perbaikan gizi menjadi nyata. Penelitian dilakukan untuk menguji bagaimana berbagai proses fermentasi mengubah nilai gizi. Produk yang dibuat dengan nama 60 macam dikelompokkan berdasarkan agen penfermentasi utama. Dua kelompok produk tradisional dibahas bersama dengan produk-produk non-tradisional yang dibuat dengan hidrolisis kimia, silase asam, dan sebuah metode "cepat" baru. Hasil penelitian menemukan adanya kehilangan nitrogen selama fermentasi produk tradisional dengan rata-rata sekitar 30 persen. Retensi asam amino tampaknya sangat baik. Minyak ikan fermentasi memiliki nilai gizi yang kecil akibat timbulnya tengik. Arti penting nilai gizi vitamin-vitamin B disimpulkan kecil. Peneliti tidak menemukan laporan kasus keracunan serius akibat mengkonsumsi produk ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai gizi setiap produk adalah terjamin, namun menyarankan untuk segera melakukan pengendalian mutu.

Baca juga :
Nilai Gizi Ikan Untuk Konsumsi Manusia

Proteolisis dan Penghambatannya Dalam Fermentasi Produk Perikanan

Orejana dan Liston (1982) mempelajari penggunaan enzim proteinase spesifik sebagai agen utama proteolisis dalam fermentasi “patis”. Aktivitas mirip-tripsin yang berkembang beberapa hari setelah fermentasi dimulai, adalah maksimal selama bulan pertama fermentasi kemudian menurun dengan cepat dan tetap rendah selama sisa periode fermentasi. Penurunan ini terutama disebabkan penghambatan oleh akumulasi produk akhir (asam amino dan peptida kecil). Penghambatan awal aktivitas mirip-tripsin mungkin disebabkan oleh adanya penghambat dalam darah ikan atau oleh substansi yang dihasilkan oleh bakteri yang mencemari ikan. Bakteri tidak bertanggung jawab atas proteolisis.

Baca juga :
Resiko Kesehatan Akibat Mengkonsumsi Kerang

Histidin Untuk Mempercepat Proses Fermentasi Produk Perikanan

Sanceda et al. (1996) melaporkan bahwa penambahan histidin mempercepat hidrolisis protein ikan selama fermentasi dalam pembuatan kecap ikan dan setelah 4 bulan fermentasi menghasilkan sebuah produk tradisional khas berupa kecap ikan. Laju pencairan kecap yang diberi perlakuan histidin adalah lebih cepat daripada kontrol. Derajat hidrolisis jauh lebih besar dalam kecap yang diberi histidin daripada dalam kontrol. Kebanyakan asam amino terdapat dalam jumlah lebih banyak pada kecap histidin dibandingkan pada kecap komersial (sebagai rujukan). Penambahan histidin ke dalam campuran ikan selama fermentasi tidak meningkatkan kandungan histamin pada kecap tersebut.

Baca juga :
Pembuatan, Pengolahan, Komposisi Kimia dan Aroma Kecap Ikan

Asam Untuk Mempercepat Autolisis Selama Fermentasi Produk Perikanan

Gildberg et al. (1984) melaporkan bahwa kecap ikan berkualitas tinggi dihasilkan dari ikan anchovies (Stolephorus spp.) yang dibiarkan mengalami autolisis pada pH 4 dan konsentrasi garam rendah. Setelah fase awal autolisis yang cepat, sampel dinetralisir, dan garam ditambahkan sampai ke level normal (250 gram/kg) sebelum kecap ikan dipisahkan dengan cara penghisapan. Dengan metode ini kecap ikan dengan flavour yang dapat-diterima bisa diproduksi setelah dua bulan, padahal lama produksi normal adalah lebih dari 6 bulan. Kecap ikan produksi-cepat ini mengandung asam dan basa volatil (mudah-menguap) dengan konsentrasi lebih rendah, dan komposisi asam-asam amino yang lebih seimbang daripada kecap ikan komersial kelas satu.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Sabtu, 27 Juni 2015

pH Rendah, Ikan dan Akuakultur

Arsip Cofa No. C 195

pH, Keasaman dan Alkalinitas

Boyd et al. (2011) menyatakan bahwa pengukuran pH, keasaman dan alkalinitas umum dilakukan untuk menjelaskan kualitas air. Tiga variabel ini saling berkaitan dan kadang-kadang dikacaukan. Istilah pH air merupakan faktor intensitas, sedang keasaman dan alkalinitas air adalah faktor-faktor kapasitas. Lebih tepatnya, keasaman dan alkalinitas didefinisikan sebagai kapasitas air untuk menetralkan basa kuat atau asam kuat, berturut-turut. Istilah keasaman untuk nilai pH di bawah 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung alkalinitas; demikian pula, istilah basa (alkalin) untuk nilai pH di atas 7 tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak mengandung keasaman. Perairan dengan nilai pH antara 4,5 dan 8,3 memiliki keasaman total maupun alkalinitas total. Definisi pH, yang berdasarkan pada transformasi logaritma konsentrasi ion hidrogen ([H+]), menyebabkan ketidak sepahaman yang cukup besar berkenaan dengan metode yang tepat untuk menjelaskan pH rata-rata.

Pendapat bahwa nilai pH harus diubah menjadi nilai konsentrasi H+ sebelum merata-ratakan tampaknya didasarkan pada konsep pengadukan larutan yang berbeda pH. Dalam praktek, bagaimanapun, perata-rataan nilai konsentrasi H+ tidak akan menunjukkan pH rata-rata yang benar karena buffer yang ada di dalam perairan alami memberikan dampak yang lebih besar terhadap nilai pH akhir daripada dampak yang ditimbulkan oleh pengenceran saja. Untuk hampir semua penerapan pH dalam perikanan dan akuakultur, nilai-nilai pH bisa dirata-ratakan secara langsung. Bila seperangkat data pH diubah menjadi konsentrasi ion H+ untuk menduga nilai rata-rata pH, maka nilai-nilai pH yang ekstrim akan menyimpangkan nilai pH rata-rata. Nilai pH hasil penyesuaian lebih mendekati distribusi normal daripada nilai konsentrasi ion H+, sehingga nilai pH ini lebih diterima untuk kepentingan analisis statistik. Pengukuran pH secara elektrokimia dan banyak respon biologis terhadap konsentrasi H+ dijelaskan oleh persamaan Nernst, yang menyatakan bahwa hasil pengukuran dan respon yang diamati berkorelasi linier terhadap kelipatan 10 perubahan konsentrasi ion H+. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan ini, pH lebih tepat daripada konsentrasi ion H+ untuk digunakan dalam analisis statistik (Boyd et al., 2011).

Baca juga :
Efek Negatif pH Rendah Bagi Kerang dan Ikan

Respon Fisiologis Ikan Air Tawar Terhadap Stres Asam

Fromm (1980) menyatakan bahwa data mengenai efek spesifik pH rendah terhadap pertumbuhan ikan air tawar bersifat ambigu (mendua). Kegagalan reproduksi akibat stress asam tampaknya dikaitkan dengan kekacauan metabolisme kalsium dan kegagalan proses deposit (pengendapan) protein di dalam sel telur yang sedang berkembang. Tampaknya bahwa nilai pH yang tidak berdampak terhadap keberhasilan reproduksi adalah sekitar 6,5. Kebanyakan ikan tampaknya memberikan respon yang tak berbeda terhadap pH dalam kisaran sekitar 10,5 sampai 5,5 dan antara 7,4 sampai 4,5; CO2 tampaknya merupakan faktor penentu utama. Pada kasus stres asam yang parah terjadi perubahan membran insang dan/atau penggumpalan lendir insang, dan timbul kematian akibat hipoksia (konsentrasi oksigen di bawah normal); hipoksia ini terjadi akibat bertambahnya jarak difusi air-darah.

Menurut Fromm (1980) beberapa laporan menyepakati bahwa stres asam menyebabkan gangguan homeostasis (keseimbangan) elektrolit dalam tubuh ikan tetapi pengaruh pH rendah terhadap permeabilitas osmotik belum banyak diteliti. Sebagian besar ikan salmonidae yang dipelihara di hatchery dapat mentolerir pH 5,0 tetapi di bawah nilai ini keseimbangan elektrolit dan mekanisme pengaturan osmotik menjadi tidak memadai. Bila ikan dikenai stres asam lemah maka pH darah menurun yang mungkin disebabkan oleh masuknya ion-ion H+ melewati membran insang ke dalam darah. Hal ini dapat mengubah potensial transepithelial serta memungkinkan ion-ion Na+ berdifusi ke dalam darah sehingga menurunkan gradien elektrokimia. Penurunan pH lingkungan bisa mempengaruhi konsentrasi kalsium insang sehingga meningkatkan permeabilitas insang terhadap ion H+ dan Na+ atau bisa terjadi acidemia (pH darah rendah secara tak normal) akibat penurunan ekskresi CO2 dan ion H+ hasil metabolisme. Bila kapasitas mekanisme buffer terlampaui maka pH darah jatuh dan kapasitas hemoglobin untuk mengangkut oksigen berkurang.

Baca juga :
Karakteristik Fisika-Kimia pH Air

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Hilangnya Populasi Ikan Akibat Pengasaman Air Danau

Beamish (1974) melaporkan bahwa populasi ikan di danau-danau di Ontario, Canada, hilang terutama akibat tingginya kandungan asam dalam air danau tersebut. Ketika suatu danau menjadi asam, spesies yang lebih peka terhadap asam menghentikan aktivitas reproduksinya dan bahkan menghilang. Hilangnya populasi ikan disebabkan oleh efek letal jangka panjang dan ketiadaan rekruitmen ikan muda akibat kegagalan reproduksi.

Pada salah satu danau, tingkat keasaman adalah tinggi dalam waktu cukup lama hingga menyebabkan hilangnya populasi bahkan spesies ikan yang paling kebal sekalipun. Konsentrasi nikel yang tidak wajar di danau dan air hujan; tingginya konsentrasi nikel yang masuk ke dalam atmosfir di Sudbury, Ontario; kemampuan sulfur dioksida untuk membentuk asam di atmosfir dan jatuh bersama hujan pada jarak yang agak jauh dari sumbernya; emisi sulfur dioksida oleh industri di Sudbury dalam jumlah sangat besar; tingginya konsentrasi ion-ion hidrogen dan sulfat secara tak wajar di danau yang dipelajari; semua menunjukkan bahwa emisi dari pabrik nikel dekat Sudbury merupakan sumber pencemar yang paling mungkin yang menyebabkan hilangnya stok ikan dari O.S.A., Muriel, dan danau-danau lain (Beamish, 1974).

Baca juga :
Biologi dan Pengaruh pH Terhadap Amfibi

Mekanisme Adaptasi Ikan Untuk Hidup di Danau Ber-pH Rendah

Hirata et al. (2003) melaporkan bahwa meskipun kondisinya tidak menguntungkan, satu spesies ikan tunggal, Osorezan dace, hidup di sebuah danau yang sangat asam (pH 3,5) di Osorezan, Aomori, Jepang. Studi fisiologi menunjukkan bahwa ikan ini dapat mencegah pengasaman plasma darahnya dan kehilangan ion Na+. Telah ditunjukkan bahwa kemampuan ini terutama disebabkan oleh sel-sel klorida di dalam insang, yang tersusun di dalam suatu struktur folikel dan mengandung banyak Na+-K+-ATPase, karbonik anhidrase II, tipe 3 Na+/H+ exchanger (NHE3), tipe 1 Na+-HCO3- cotransporter, dan aquaporin-3, yang semuanya merupakan pengatur pengasaman yang baik. Studi imunohistokimia menunjukkan lokasi sel-sel klorida ini, dengan NHE3 pada permukaan puncak dan yang lain-lainnya terletak pada membran basolateral. Hasil-hasil penelitian ini menunjukkan adanya mekanisme adaptasi Osorezan dace terhadap kondisi lingkungan asam. Kemungkinan besar, NHE3 pada sisi puncak mengekresi H+ untuk dipertukarkan dengan Na+, sedangkan elektrogenik tipe 1 Na+-HCO3- kotransporter dalam membran basolateral menyediakan HCO3- untuk menetralisir plasma dengan menggunakan gaya pengendali yang dibangkitkan oleh Na+-K+-ATPase dan karbonik anhidrase II. Peningkatan dampak glutamat dehidrogenase juga terlihat di berbagai jaringan ikan dace yang teradaptasi-asam, yang menunjukkan pentingnya peranan amonia dan bikarbonat yang dibangkitkan oleh katabolisme glutamin.

Baca juga :
Pengaruh pH Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Ikan

Budidaya Ikan Intensif Pada Kondisi Konsentrasi Amonia Tinggi dan pH Rendah

Eshchar et al. (2006) menyatakan bahwa ikan mengeksresi dua jenis utama metabolit beracun ke dalam air : NH3 dan CO2; jenis yang pertama merupakan racun yang khas bagi ikan pada konsentrasi rendah (< 0,1 mg N/liter). Bagaimanapun, penimbunan CO2 metabolik yang larut dalam-air menyebabkan penurunan pH, sehingga mengurangi fraksi NH3 dari TAN (Total Amonia Nitrogen). Hal ini mengharuskan untuk menaikkan nilai ambang batas bagi TAN, yang bisa menurunkan kebutuhan akan aliran air dalam sistem arus-mengalir. Dalam penelitian ini, parameter-parameter pertumbuhan ikan sea bream (Sparus aurata) yang dipelihara pada kondisi TAN tinggi dan pH rendah dipantau. Daya racun TAN pertama kali diuji dalam akuarium 27 liter, di mana anak ikan sea bream dipelihara pada kondisi nilai TAN sampai 20 mg N/liter dan pH 6,8, tanpa menunjukkan efek negatif yang nyata. Berdasarkan hal ini, dua tangki kultur ikan laut bervolume 100 m3 ditebari dengan 84 gram ikan dan dipasok dengan pakan yang sama setiap hari selama 250 hari. Oksigen cair ditambahkan dan aerator kincir digunakan untuk mengusir CO2. Air laut dipasok ke sistem percobaan TAN-tinggi dengan laju rata-rata 5,25 m3 per kg pakan dan ke sebuah tangki kontrol dengan laju rata-rata 22,9 m3 per kg pakan (praktek aliran-air normal). Sistem eksperimental ini mencakup sebuah filter padat, tetapi bukan unit nitrifikasi.

Eshchar et al. (2006) melaporkan bahwa konsentrasi TAN hasil pengukuran dalam sitem eksperimental ini jauh lebih tinggi daripada nilainya dalam sistem kontrol (rata-rata 5,44 ± 1,2 mg N per liter dan 1,34 ± 0,6 mg N per liter, berturut-turut); bagaimanapun laju pertumbuhan ikan dan mortalitasnya pada kedua sistem secara statistik adalah sama. Keseimbangan massa karbon anorganik berbeda nyata antara kedua sistem yang menunjukkan peran penting alat pengusir CO2. Pemilihan alat pengusir CO2 ini memungkinkan untuk mengendalikan konsentrasi CO2 (cair), yang selanjutnya bisa mengendalikan nilai pH pada alkalinitas tertentu. Pengendalian seperti ini terhadap konsentrasi CO2 (cair) memungkinkan untuk mengoperasikan sistem pada konsentrasi TAN yang relatif tinggi sementara konsentrasi NH3 (cair) dipertahankan di bawah nilai ambang batas.

Sebuah model akuatik-kimiawi telah dikembangkan untuk meramalkan nilai pH, dan dengan demikian konsentrasi CO2(cair) serta NH3(cair), dengan asumsi kondisi seimbang. Model yang dihasilkan digunakan untuk menentukan laju aliran air minimal yang memungkinkan keamanan operasi dengan mempertimbangkan ambang batas konsentrasi metabolit. Model ini menunjukkan bahwa pada kondisi yang diuji, sistem air-mengalir dapat dioperasikan dengan rasio serendah 4,4 m3 air laut/kg pakan tanpa membutuhkan biofilter nitrifikasi. Implikasi pemeliharaan ikan pada konsentrasi TAN-tinggi adalah luas, yang paling penting adalah penurunan secara nyata biaya pengelolaan air (Eshchar et al., 2006).


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 26 Mei 2015

Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Arsip Cofa No. C 194

Pengaruh Karang Hidup Terhadap Komunitas Ikan Karang

Bell dan Galzin (1984) mengulas sejumlah literatur mengenai pengaruh karang hidup terhadap komunitas ikan penghuninya. Hubungan antara kekomplekan topografi terumbu karang dan keragaman komunitas ikannya menunjukkan bahwa struktur komunitas ikan karang dapat dipengaruhi oleh kekomplekan fisik substrat. Jelas bahwa meningkatnya luas permukaan meningkatkan keragaman tempat berlindung dan/atau tempat mencari makan, sehingga meningkatkan keragaman spesies. Bagaimanapun, beberapa penelitian mengenai hubungan antara parameter-parameter komunitas ikan dan keragaman biologis substrat serta keragaman spesies karang memberikan hasil bahwa hubungan tersebut tidak berkorelasi nyata. Dalam penelitian lain ditemukan adanya perbedaan spesies ikan yang berasosiasi dengan karang hidup dan spesies ikan yang berasosiasi dengan kapur koralin yang dihuni beberapa koloni karang kecil, tetapi disimpulkan bahwa perbedaan kedua komunitas ini tidak nyata. Laporan lain mengenai pengaruh persentase penutupan karang hidup terhadap stuktur komunitas ikan disimpulkan bahwa tidak ada hubungan nyata antara penutupan karang hidup dan jumlah spesies penghuni tetap dan spesies ikan tersembunyi (cryptic) yang berasosiasi dengan kuadrat 9 m2. Bagaimanapun, data mereka berasal dari daerah dengan nilai “vertical rugosity” (kekerutan vertikal; suatu ukuran kekomplekan topografi) berkisar dari 1,1 sampai 4,6 pada berbagai kedalaman (10 – 40 m).

Bell dan Galzin (1984) melaporkan bahwa rangka karang yang mati dengan cepat kehilangan strukturnya akibat pengikisan, sedangkan struktur karang hidup tetap kompleks. Dari data yang dikumpulkan selama survei ikan di Mataira Atoll, peneliti menguraikan situasi alami berskala relatif besar di mana pengaruh perbedaan penutupan karang hidup (berkisar dari 0 sampai 10 %) terhadap struktur komunitas ikan dipelajari dengan meniadakan pengaruh heterogenitas ruang. Peneliti menemukan perbedaan nyata dalam hal keragaman spesies ikan dan kepadatan individunya akibat perubahan luas penutupan karang hidup pada terumbu yang secara topografi sama dan peneliti menduga bahwa kehadiran (dan jumlah) karang hidup mungkin lebih penting dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan daripada yang diperkirakan sebelumnya.

Pengaruh Intensitas Penangkapan Terhadap Komunitas Ikan Karang

Pet-Soede et al. (2001) mempelajari komposisi spesies dan ukuran struktur komunitas ikan dengan melakukan sensus visual bawah-air di terumbu karang Indonesia yang mengalami berbagai derajat intensitas penangkapan ikan. Perbandingan dibuat di antara terumbu-terumbu di Kepulauan Spermonde di lepas pantai barat-daya Sulawesi, antara terumbu di dalam dan di luar taman laut Komodo di lepas pantai Flores Barat, dan antara daerah-daerah terumbu Spermonde dan Komodo. Di Spermonde, komposisi spesies dan ukuran hasil tangkap ikan komersial di lokasi dengan intensitas perikanan tinggi dan rendah dicatat untuk menentukan bagaimana hasil tangkapan tersebut mencerminkan pergeseran struktur komunitas ikan. Intensitas penangkapan total di Spermonde adalah 557 hari kapal/km2 terumbu/tahun, delapan kali lebih tinggi daripada di Komodo (65 hari kapal/km2 terumbu/tahun), tetapi laju penangkapannya adalah delapan kali lebih rendah di Spermonde (5,6 kg per trip) daripada di terumbu di Komodo (48 kg per trip). Total hasil tangkapan adalah sama di Spermonde (3,2 ton/km2 terumbu) dan di Komodo (3,1 ton/km2 terumbu). Rata-rata panjang ikan hasil tangkapan sangat berkaitan dengan intensitas perikanan. Pola-pola ruang (spatial pattern) pada komunitas ikan di Spermonde sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah tidak berkaitan secara nyata dengan pola intensitas perikanan. Di Komodo, total biomas ikan dan biomas pemangsa-ikan sebagaimana yang diamati dengan sensus visual bawah-air adalah secara nyata lebih tinggi di dalam taman daripada di luar taman tersebut. Komunitas ikan di terumbu sangat berbeda antara di Spermonde dan di Komodo dalam hal rata-rata panjang individual dan total biomas tetapi kepadatannya sama.

Pet-Soede et al. (2001) menyimpulkan bahwa hasil pengamatan ini menunjukkan pengaruh tekanan penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dapat dideteksi dengan sensus visual bawah-air hanya ketika membandingkan daerah-daerah yang intensitas penangkapannya sangat berbeda (Spermonde dan Komodo) atau ketika membandingkan lokasi-lokasi dengan intensitas penangkapan rendah dan sedang (di dalam dan di luar taman laut). Komposisi spesies dan ukuran hasil tangkapan komersial masih menunjukkan perbedaan pengaruh intensitas penangkapan terhadap struktur komunitas ikan dan dengan demikian menunjukkan juga hasil tangkapan total di daerah terumbu Spermonde dengan intensitas penangkapan rata-rata.

Baca juga :
Terumbu Karang : Kerusakan Oleh Manusia, Ikan, Bulu Babi, Alga dan El Nino

Pengaruh Taman Laut dan Pembatasan Perikanan Terhadap Pemulihan Ikan Karang

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menduga jumlah ikan dan berat basahnya di laguna-laguna tujuh terumbu karang di Kenya selama 6 tahun. Dua lokasi dilindungi dari penangkapan selama 20 tahun, sedangkan lima lokasi lainnya mengalami intensitas perikanan yang tinggi dalam tahun-tahun terakhir ini. Satu lokasi dengan intensitas perikanan tinggi telah diubah menjadi sebuah taman laut (Mombasa Marine National Park, sekitar 10 km2, penangkapan ikan dilarang), dan jumlah nelayan yang diijinkan perlahan-lahan berkurang antara Agustus 1991 dan Agustus 1992. Daerah di sekitar taman ini diubah menjadi "marine reserve" (hanya perangkap ikan, pancing dan gill net yang diijinkan) yang menyediakan fishing ground di luar taman nasional bagi nelayan. Data dari lokasi pendaratan ikan di dekat taman nasional baru ini dikumpulkan selama 3 tahun dan dianalisis untuk menentukan pengaruh taman nasional terhadap hasil tangkapan ikan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penangkapan ikan di "marine reserve" mengurangi berat basah ikan kira-kira senilai faktor 10 serta mengurangi jumlah dan keragaman sesies ikan senilai faktor dua. Baik studi lapang maupun data pendaratan ikan menunjukkan bahwa pemanenan terjadi pada keseimbangan bionomik. Sebagai contoh, sekitar 65 % daerah penangkapan dilindungi dengan dibentuknya taman laut, dan 65 % nelayan keluar dari lokasi pendaratan ikan yang dipelajari, menyisakan sejumlah nelayan dengan kepadatan hampir sama di daerah lainnya (sekitar 12 nelayan/km2). Selain itu, nelayan yang menggunakan jaring tarik (pull seine) dilarang beroperasi di daerah "marine reserve", dan jumlah nelayan ini digantikan oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap lain (terutama keranjang perangkap). Meskipun hasil tangkapan total per unit upaya meningkat sekitar 110 % setelah adanya taman laut, total ikan yang didaratkan berkurang 35 % dan tangkapan per unit upaya menurun ke arah akhir periode penelitian padahal kelimpahan ikan meningkat di dalam taman tersebut (McClanahan dan Kaunda-Arara, 2002).

McClanahan dan Kaunda-Arara (2002) menambahkan bahwa meskipun pembentukan taman-taman kecil di tempat-tempat lain menyebabkan peningkatan total tangkapan, taman laut besar yang diteliti ini tidak berdampak demikian; salah satu alasannya mungkin adalah lebih kecilnya rasio keliling (atau tepi) terhadap luas taman untuk taman laut besar. Ada kemungkinan tepi taman bisa menjadi daerah penangkapan yang baik, sehingga upaya penangkapan menjadi paling tinggi di sepanjang tepian taman laut. Oleh karena itu penghalang mungkin harus dibuat untuk membatasi pemencaran ikan ke luar taman. Dengan demikian, daerah dengan hasil tangkap meningkat adalah kecil (< 1 sampai 2 km dari tepi) dan tidak dapat mengimbangi penyempitan daerah penangkapan. Kebanyakan spesies ikan di dalam taman menunjukkan pemulihan setelah nelayan dilarang beroperasi di daerah tersebut. Total berat basah ikan 3 tahun setelah aktivitas nelayan dilarang berkurang 25 % dibandingkan ketika belum ada taman laut. Lemahnya pemulihan ikan pisau-pisau dan ikan kakaktua herbivora mungkin menjadi penyebab utama hal ini. Kompetisi memperebutkan sumber daya dengan bulu babi tampaknya memperlambat pemulihan kedua kelompok ini. Sebuah lokasi studi yang berjarak 2,5 km dari tepi selatan taman, di dalam daerah "marine reserve" yang dilindungi, tidak menunjukkan perubahan kelimpahan ikan selama periode penelitian, meskipun ada peraturan yang menyebabkan perubahan alat tangkap.

Baca juga :
Terumbu Karang Buatan : Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Dampak Intensitas Perikanan dan Seleksi Hasil Tangkap Terhadap Terumbu Karang

McClanahan (1995) telah mengembangkan sebuah model simulasi terumbu karang berdasarkan energi agregat; model ini digunakan untuk menjalankan eksperimen penangkapan di mana intensitas perikanan dan seleksi hasil tangkapan bervariasi. Model ini tersusun dari dua kelompok produsen primer (karang dan alga), herbivora (ikan herbivora dan bulu babi) serta karnivora (pemangsa ikan dan predator invertebrata). Produksi perimer kotor dan neto dihitung dari parameter-parameter produksi dan respirasi karang dan alga, sedangkan keseimbangan kalsium karbonat dihitung dari pengendapan oleh karang dan alga serta erosi oleh bulu babi dan ikan herbivora. Hasil simulasi menunjukkan bahwa penangkapan ikan mempengaruhi ekologi terumbu karang dan keuntungan hasil perikanan harus memperhatikan dampak terhadap struktur dan proses-proses terumbu. Model ini meramalkan bahwa penyingkiran semua kelompok ikan akan menyebabkan bulu babi mendominasi terumbu karang begitu predatornya disingkirkan. Hal ini menyebabkan penurunan secara cepat dan dramatis dalam hal hasil perikanan serta mengurangi produktivitas dan biomas alga dan karang.

Pengendapan neto kalsium karbonat sangat dipengaruhi oleh aktivitas bulu babi atau nelayan terhadap karang hidup. Penangkapan predator ikan saja menyebabkan hasil perikanan rendah tetapi laju akresi (pertambahan) terumbu adalah tinggi sebagai akibat tak langsung dari hilangnya alga yang bersaing dengan karang. Strategi manajemen perikanan dengan hanya menangkap ikan herbivora dan pedator ikan menyebabkan hasil perikanan mencapai nilai tertinggi dan paling stabil. Bagaimanapun, di bawah strategi managemen seperti ini, tingginya aktivitas perikanan menyebabkan peningkatan jumlah alga yang, melalui persaingan, bisa menyingkirkan karang dan menyebabkan penurunan pengendapan kalsium karbonat secara sementara. Tetapi, pada biomas alga tertinggi, pengendapan kalsium karbonat adalah tinggi dan menjadi satu-satunya penyumbang pengendapan alga. Namun demikian, bentuk endapan kalsium karbonat ini mungkin tidak menyediakan struktur terumbu yang dibutuhkan bagi perlindungan habitat ikan dan garis pantai. Jadi hal ini membuktikan keuntungan dalam jangka panjang untuk mempertahankan aktivitas perikanan di bawah level ini (McClanahan, 1995).

Baca juga :
Struktur Komunitas Ikan Karang

Perikanan Laut Tropis dan Masa Depan Terumbu Karang

McManus (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan ketimpangan ekonomi menyebabkan meningkatnya permintaan akan produk perikanan laut tropis. Perikanan terumbu karang menyumbangkan sumber makanan penting dan mata pencaharian yang penting pula dalam skala global. Bagaimanapun, perikanan yang merusak menjadi penyebab utama kerusakan terumbu karang dan hal ini sering dikaitkan dengan teori Malthus dalam hal overfishing, yakni suatu kondisi yang berhubungan dengan kemiskinan dan padatnya penduduk di pesisir. Studi berdasarkan model bioekonomi Gordon-Schaefer menunjukkan bahwa untuk banyak daerah terumbu karang, agar pemanfaatan sumber daya alam optimal maka membutuhkan pengurangan upaya penangkapan sebesar kira-kira 60 %. Penangkapan ikan dan udang dengan trawl menjadi penyebab kerusakan komunitas karang secara luas di paparan benua tropis. Prinsip-prinsip pencegahan dan manajemen perikanan dimaksudkan untuk mengurangi masalah seperti ini.

Baca juga :
Ekologi Ikan Karang

Konservasi Terumbu Karang dan Ikan Karang Secara Tradisional

McClanahan et al. (1997) melaporkan bahwa banyak tradisi penduduk pesisir yang bisa dipandang sebagai bentuk tradisional konservasi laut karena, seperti manajemen perikanan modern, mereka membatasi alat tangkap, waktu dan tempat penangkapan, tetapi pengaruhnya dalam praktek belum banyak dipelajari. Sebuah studi telah dilakukan mengenai kebudayaan dan sumber daya perikanan di sebuah daerah di Kenya selatan, yang dirancang sebagai taman laut nasional, untuk menentukan efek manajemen tradisional terhadap hasil perikanan dan kondisi ekologis terumbu karang. Daerah ini memiliki salah satu tradisi tertua yang masih berlaku mengenai tempat-tempat keramat dan ritual pengorbanan di sepanjang pesisir Kenya. Tujuan tradisi ini, bagaimanapun, adalah untuk menghormati arwah leluhur bukannya untuk mengatur stok ikan yang secara tradisional tampaknya berfluktuasi tanpa terpengaruh oleh upaya penangkapan. Banyak tradisi ini sekarang ditinggalkan akibat Islamisasi kebudayaan, dan kekuasaan bergeser ke arah organisasi nasional sehingga melemahkan efektivitas pemimpin tradisional. Pada waktu yang sama, nelayan mengadopsi alat tangkap baru atau asing serta tradisi asing. Dua lokasi pendaratan yang berdekatan (Mvuleni dan Mwanyaza), bagaimanapun, berhasil menghentikan operasi nelayan jaring tarik (pull seine) di daerah mereka selama lebih dari 20 tahun dengan argumen yang berdasarkan tradisi. Lokasi-lokasi pendaratan lainnya mengadopsi pull seine. Kedua lokasi pendaratan yang melarang pull seine memiliki hasil tangkap ikan per kapita lebih besar daripada lokasi pendaratan yang tidak melarang alat tangkap itu. Bagaimanapun, tidak ada perbedaan yang tampak dalam hal kondisi ekologis terumbu karang di dua daerah manajemen tersebut; kedua daerah termasuk di antara terumbu karang yang paling rusak di Afrika Timur. Keragaman biologis dan luas penutupan karang berkurang banyak di semua daerah ini bila dibandingkan dengan taman laut.

Menurut McClanahan et al. (1997) saat ini manajemen tradisional tidak efektif dalam melindungi keragaman spesies atau fungsi ekologi, yang mungkin tidak pernah diperhatikan penduduk. Konflik antara organisasi nasional dan nelayan lokal muncul karena nelayan berpendapat bahwa yang diusulkan oleh organisasi nasional akan menyebabkan mereka tidak dapat mengakses dan mengendalikan sumberdaya tersebut. Dengan demikian dibutuhkan pemecahan konflik terkait penggunaan dan pengaturan alat tangkap, dan juga dibutuhkan upaya untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya program manajemen. Banyak bentuk manajemen tradisional yang sesuai dengan kebijakan organisasi nasional, tetapi kesalah pahaman dan konflik sering terjadi berkaitan dengan pemaksaan pelaksanaannya. Untuk menyelesaikan konflik maka dibutuhkan diskusi antara pemimpin tradisional dan pemimpin nelayan nasional untuk mengembangkan kebijakan manajemen yang diterima kedua belah pihak.

Interaksi Multispesies Dalam Stok Ikan

Teluk St. Lawence bagian selatan merupakan daerah pemijahan utama bagi ikan hering (Clupea harengus harengus) dan tenggiri (Scomber scombrus), dan interaksi antara kedua spesies ini telah dipelajari. Pada akhir tahun 1950-an stok ikan hering ada pada tingkat rendah, tampaknya sebagai akibat penyakit jamur. Mereka meningkat sampai mencapai biomas dugaan 1,9 x 106 ton pada tahun 1964, dan ini mendorong meningkatnya tekanan penangkapan yang hebat sehingga kembali menurunkan stok menjadi 0,36 x 106 ton. Tengiri juga berkurang jumlahnya oleh serangan jamur, tetapi stoknya tetap rendah sampai tahun 1967, setelah itu mereka mulai bertambah dengan cepat. Jelas bahwa saling-hubungan antara kedua biomas ikan ini memberikan dasar dugaan adanya interaksi kompetitif antara kedua spesies ikan pelagis tersebut yang memijah di daerah yang sama. Winters (1976) meneliti perubahan panjang dan berat rata-rata kelompok-kelompok pemijahan (umur 3 – 7 tahun) dan menunjukkan bahwa terjadi hubungan terbalik antara biomas total hering dan tengiri di bagian selatan teluk tersebut (koefisien korelasi r = 0,94 untuk panjang dan 0,98 untuk berat). Saat meningkatnya biomas ikan tengiri diperkirakan ditentukan oleh suhu. Tenggiri adalah ikan pemijah pelagis yang membutuhkan suhu permukaan 11 – 18 oC dan periode setelah tahun 1965 merupakan musim-musim panas yang hangat yang sesuai bagi pemijahan dan kelangsungan hidup ikan tengiri. Plot logaritme rekruitmen terhadap logaritme suhu menunjukkan korelasi positif kuat dengan r = 0,82. Disimpulkan bahwa carrying capacity (daya dukung lingkungan) Teluk St. Lawrence bagian selatan untuk ikan pelagis adalah terbatas. Dan bahwa pertumbuhan ikan hering berespon dengan cara yang tergantung kepadatan terhadap biomas total hering dan tengiri sedangkan biomas tengiri ditentukan terutama oleh suhu pada tahun pertama kehidupannya.

Lett dan Kohler (1976) memperhatikan secara cermat interaksi kompetitif antara spesies-spesies ini, terutama interaksi larva, dan mengamatinya dengan bantuan model simulasi. Mereka menemukan bahwa pertumbuhan ikan hering umur 2–10 tahun dapat dijelaskan secara cukup memuaskan dengan persamaan regresi :

Loge Ga = -4,701 loge Ya – 0,161 loge MY + (0,827 loge Ya) x (loge Tm) + 6,028

Di mana Ga adalah laju pertumbuhan sesaat (instantaneous growth rate) untuk kelas tahun Ya, MY adalah ukuran kelas-umur untuk tengiri kelompok-umur 0 x 106, dan Tm adalah suhu rata-rata bulanan maksimum pada suatu tahun. Dengan demikian, hanya kompetisi interspesifik nyata memperebutkan makanan pada kelompok-umur 0 saja yang didukung oleh data lapangan.

Dengan menggunakan laju pertumbuhan sesaat yang dihitung seperti di atas dan jumlah-jumlah untuk setiap kelas tahun, produksi P populasi ikan dewasa untuk setiap tahun bisa dihitung, dan diketahui bahwa kelimpahan larva dapat disesuaikan dengan persamaan regresi antara produksi ikan dewasa dan suhu sedemikian hingga bila suhu dipertahankan konstan pada 10 oC maka akan diperoleh korelasi yang sangat erat antara produksi ikan dewasa dan kelimpahan larva.

Ukuran kelas tahun untuk ikan hering YR bisa dihubungkan dengan kelimpahan larva LR dan total biomas pelagis BTP oleh persamaan :

Loge YR = 2,679 Loge LR – 5,000 x 10-5 (Loge LR)2 x BTP – 0,165 (Loge LR)2

Yang berarti bahwa pemangsaan oleh ikan tengiri dan kanibalisme oleh hering yang lebih tua merupakan factor utama yang mempengaruhi ukuran kelas tahun juvenil hering.

Hubungan antara larva hering dan kompetitornya (ikan tengiri kelompok umur 0) dan predatornya (ikan hering dan tengiri) serta suhu air dapat digunakan dalam model simulasi stokastik untuk menduga biomas hering pada bagian selatan Teluk St. Lawrence. Telah ditunjukkan bahwa tanpa kehadiran tengiri, populasi hering dapat diharapan berfluktuasi di sekitar nilai 2,0 x 106 ton, tetapi dengan adanya 1 x 106 ton tengiri maka akan ada dua perbedaan : populasi hering menjadi lebih stabil, dan biomasnya akan menjadi kira-kira 0,8 x 106 ton. Plot biomas hering terhadap biomas tengiri menunjukkan bahwa nilai riil dan nilai hasil simulasi mengikuti kecenderungan yang sama, mekipun ada gangguan akibat upaya penangkapan yang berubah-ubah.

Telah ditunjukkan bahwa ikan tengiri kelas umur 0 berkompetisi dengan hering. Bila tengiri dieksploitasi dengan cara yang optimal maka ukuran tengiri kelas tahun 0 meningkat, dan kompetisinya dapat menyebabkan kegagalan peremajaan dalam stok hering. Lett dan Kohler (1976) menyimpulkan bahwa bila modelnya benar, tengiri sebaiknya dieksploitasi-kurang (under-exploitation) atau dieksploitasi-lebih, dengan tujuan melindungi hering. Hal ini mungkin kedengarannya aneh, hingga orang menyadari bahwa stok ikan-ikan tersebut berkembang bersama-sama sebagai spesies yang tak dieksploitasi, sampai baru-baru ini. Pandangan seperti ini hanya dapat diperoleh dari pertimbangan yang sangat mendetail mengenai interaksi antar spesies, dan sama sekali tidak dari studi intensif spesies yang diisolasi.

Akhir-akhir ini, Lett (1980) mengamati dengan cermat interaksi antara ikan tengiri dan cod di Teluk St. Lawrence. Larva cod melimpah ketika tengiri sedang memulihkan diri dari pemijahan dan makan dengan rakus, sehingga hal ini menjadi alasan yang baik bagi anggapan bahwa kepadatan populasi tengiri merupakan faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup ikan cod. Rincian model ini, yang disusun dengan cara yang serupa dengan yang diuraikan di atas untuk hering dan tengiri, terlalu kompleks untuk dijelaskan di sini. Bagaimanapun, salah satu penemuan utama adalah bahwa ketika biomas tengiri bervariasi antara 0,5 dan 1,5 x 106 ton timbul pengaruh besar terhadap perkiraan hubungan antara biomas dan tangkapan ikan cod. Faktor-faktor ini diyakini paling tidak ikut bertanggung jawab sebagian atas hubungan terbalik antara biomas ikan cod dan tengiri di teluk tersebut antara tahun 1950 dan 1980.

Pengaruh Perikanan Terhadap Reproduksi Ikan Karang, Chrysoblephus

Dampak eksploitasi terhadap berbagai karakteristik hidup spesies ikan sparidae penghuni karang telah dipelajari oleh Buxton (1993) dengan membandingkan populasi yang terlindungi di sebuah wilayah reservasi laut yang luas dengan populasi ikan di daerah sekitarnya. Seperti ikan sparidae lainnya, Chrysoblephus laticeps dan Chrysoblephus cristiceps tumbuh lambat dan berumur panjang hingga mencapai umur 17 dan 21 tahun, berturut-turut. Tidak ada perbedaan nyata dalam hal laju pertumbuhan C. laticeps, tetapi pertumbuhan C. cristiceps secara nyata lebih lambat pada populasi yang dieksploitasi. Data pengamatan menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin di luar wilayah reservasi laut adalah miring ke arah betina, yang merupakan akibat eksploitasi selektif-ukuran. Panjang pada saat perubahan jenis kelamin juga secara nyata lebih kecil untuk C. cristiceps di daerah yang dieksploitasi, tetapi tidak untuk C. laticeps. Perbedaan antara kedua spesies ini berhubungan dengan ukuran pada saat rekruitmen ke dalam stok perikanan dan perbedaan derajat perlindungan untuk ikan jantan dan betina besar. Dengan mempertimbangkan bahwa reproduksi bisa terganggu akibat perubahan struktur populasi, maka taktik perlindungan melalui reservasi laut disarankan sebagai upaya mencegah kegagalan rekruitmen.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Rabu, 13 Mei 2015

Struktur Komunitas Ikan Karang

Arsip Cofa No. C 193

Kemiripan dan Keragaman Di Antara Komunitas Ikan Karang

Gladfelter et al (1980) melaporkan bahwa kumpulan ikan penghuni terumbu bercak alami berukuran besar di samudra Pasifik dan Atlantik barat tropis telah disensus secara visual selama musim panas 1976 dan 1978. Tiga puluh satu terumbu karang ada di Laut Karibia timur-laut (25 di St. Croix dan 6 di Anegada) dan 15 terumbu terletak di ujung selatan Atol Enewetak, Kepulauan Marshall. Derajat kemiripan (degree of similarity) di antara fauna-fauna dalam setiap grup terumbu (dihitung dengan indeks kemiripan yang berdasarkan logaritma kelimpahan individu) berkorelasi dengan parameter-parameter lingkungan terumbu di kedua daerah (kekomplekan topografi permukaan, ketinggian terumbu, luas terumbu, dan posisi terhadap terumbu utama, arus serta hamparan lamun). Rata-rata derajat kemiripan di antara semua fauna ikan dalam setiap daerah adalah sama di dua lokasi utama (0,61 di Enewetak dan 0,62 di St. Croix) seperti halnya kemiripan di antara fauna-fauna di kebanyakan terumbu yang seragam di setiap daerah (0,68 di Enewetak dan 0,73 di St. Croix).

Hasil penelitian menunjukkan tingkat kemiripan yang bernilai sama, berbeda dengan studi terdahulu di terumbu buatan dan terumbu alami yang sangat kecil, yang menunjukkan rendahnya akurasi di antara terumbu Pasifik. Perbedaan antara hasil-hasil penelitian ini dengan hasil penelitian sebelumnya di Pasifik disebabkan sebagian oleh perbedaan ukuran terumbu yang dipelajari; terumbu dalam penelitian ini beberapa kali lebih luas dibandingkan dalam penelitian terdahulu. Keragaman ikan karang adalah lebih besar di Enewetak (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 93; H' = 5,38) daripada di St. Croix (rata-rata jumlah spesies per terumbu = 64; H' = 4,58) tetapi "equitability value" (nilai kesetaraan) adalah sama di kedua daerah itu (0,82 dan 0,81, berturut-turut). Pada kedua lokasi keragaman spesies ikan berkorelasi positif dengan kekomplekan permukaan terumbu, luas permukaan terumbu yang menonjol dan ketinggian terumbu, tetapi korelasi ini lebih tinggi di St. Croix untuk semua parameter. Hal ini mungkin disebabkan oleh lebih besarnya kemiripan struktural terumbu karang Enewetak. Di Enewetak juga ada korelasi antara H' dan jarak ke terumbu penghalang (barrier reef) utama. Perbedaan utama dalam hal komposisi makanan fauna ikan-ikan ini menunjukkan bahwa perbedaan antara kedua lokasi tersebut bertanggung jawab atas proporsi pemakan plankton siang hari dan pemakan invertebrata malam hari. Perbedaan ini mungkin disebabkan perbedaan lingkungan utama antara kedua lokasi; pengaruh kondisi yang bersifat samudra di Enewetak, yang menyebabkan zooplankton melimpah, dan keberadaan hamparan tumbuhan laut yang rapat (sehingga kaya akan invertebrata penempel) yang mengelilingi terumbu di St. Croix (Gladfelter et al., 1980).

Baca juga :
Terumbu Karang Buatan : Pengaruh Terhadap Komunitas Ikan

Pengaruh Berbagai Faktor Terhadap Kelimpahan dan Keragaman Spesies Ikan Karang

Pereira et al. (2014) melakukan studi di terumbu Tamandare, utara Brazil dengan bertujuan menganalisis arti penting berbagai faktor (aktivitas turisme, perikanan, kelimpahan karang dan kelimpahan alga) terhadap kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang. Dua daerah terumbu yang berbeda (A ver o mar dan Caieiras) dengan berbagai derajat pengaruh dipelajari. Total 8.239 ekor ikan karang telah didaftar, yang mencakup 59 spesies. Lokasi 1 (A ver o mar) memiliki kelimpahan dan keragaman spesies ikan yang lebih tinggi, yang didominasi oleh ikan herbivora penjelajah (29,9 %) dan ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (28,7 %). Sebaliknya, di lokasi 2 (Caieiras) ikan herbivora teritorial (40,9 %) dominan, diikuti oleh ikan pemakan invertebrata yang aktif bergerak (24,6 %). Berkaitan dengan komunitas bentik, di lokasi 1 makroalga dilaporkan menjadi komponen utama (49,3 %); bagaimanapun, lokasi 2 didominasi oleh alga berkapur (36,0 %). Variabel terpenting yang bertanggung jawab atas lebih dari 90 % variasi kelimpahan dan keragaman spesies adalah kelimpahan makroalga, diikuti oleh aktivitas perikanan. Pergeseran fase pada terumbu karang menyebabkan penggantian karang oleh makroalga dan sangat mempengaruhi komunitas ikan karang.

Baca juga :
Interaksi Antara Terumbu Karang, Ikan Karang dan Perikanan

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Struktur Komunitas Ikan Karang

Jones (1988) membahas faktor-faktor utama yang menyebabkan pola-pola ruang (spatial pattern) dan pola waktu (temporal pattern) dalam hal kelimpahan dan struktur populasi ikan karang di New Zealand timur-laut. Juga dilakukan penelitian mengenai dampak potensial aktivitas makan ikan terhadap populasi dan struktur habitat mangsanya. Ciri-ciri biologis utama yang dimiliki habitat, seperti distribusi makroalga dan echinoid, tampaknya mempengaruhi populasi ikan pada berbagai skala ruang. Pola-pola ruang ini tampaknya tetap sepanjang waktu meskipun ada variasi temporal dalam hal kepadatan populasi, yang tidak terpengaruh oleh struktur habitat. Studi demografik belum dapat menjawab pertanyaan apakah proses pra- ataukah pasca-menetap yang paling mempengaruhi struktur populasi ikan karang. Kategori makan, dan rincian makanan, seleksi mangsa, dan pemanfaatan mikrohabitat dibahas sebagai langkah penting untuk memahami dampak ikan sebagai pemangsa. Studi eksperimental tidak dapat menunjukkan apakah karnivora ataukah herbivora yang memegang peranan utama dalam menentukan struktur biologi suatu habitat, atau dalam memodifikasi komunitas mangsa. Pengamatan menunjukkan bahwa habitat memberikan dampak yang jauh lebih besar terhadap populasi ikan daripada dampak populasi ikan terhadap habitat. Perlu ditekankan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola-pola distribusi dan kelimpahan sangat mungkin bersifat spesifik spesies, tidak seperti dampak umum ikan pada komunitas terumbu karang dangkal.

Baca juga :
Pembentukan, Pertumbuhan, Migrasi dan Keragaman Terumbu Karang

Pengaruh Kelimpahan Ikan Mangsa Terhadap Ekologi Ikan Pemangsa di Terumbu Karang

Beukers-Stewart dan Jones (2004) melaporkan bahwa, dengan mempertimbangkan arti penting pemangsaan dalam mempengaruhi struktur komunitas ikan karang, beberapa studi telah dilakukan untuk mempelajari bagaimana ikan pemangsa-ikan (piscivora fish) berespon terhadap fluktuasi kelimpahan mangsanya. Studi ini difokuskan pada dua spesies rock-cod, Cephalopholis cyanostigma (Valenciennes, 1828) dan Cephalopholis boenak (Bloch, 1790) (Serranidae), dan memantau makanannya di dua habitat yang berbeda, yaitu "patch reef" (terumbu bercak/sempit) dan "contiguous reef" (terumbu berdampingan/luas), di Pulau Lizard, Great Barrier Reef utara, Australia, selama periode 2 tahun. Kelimpahan ikan rock-cod serta kelimpahan dan komposisi famili mangsanya dipantau pada saat yang sama. Informasi makanan dkumpulkan terutama dari sampel muntahan, yang mewakili hampir 60 % mangsa yang dikonsumsi dan komposisinya tidak menyimpang.

Percobaan laboratorium menunjukkan bahwa ikan dicerna hampir 4 kali lebih cepat daripada krustasea, yang berarti bahwa arti penting krustasea sebagai makanan ikan tersebut diduga secara berlebihan. Bila hal ini dipertimbangkan maka ikan menyusun lebih dari 90 % makanan kedua spesies itu. Ikan mangsa dari famili Apogonidae, diikuti oleh Pomacentridae dan Clupeidae, mendominasi makanan kedua spesies ikan rock-cod. Efek interaksi fluktuasi kelimpahan mangsa dan pola-pola seleksi mangsa menyebabkan komposisi makanan bervariasi baik secara temporer (waktu) maupun spasial (ruang). Gerombolan mangsa tengah-air yang termasuk famili Clupeidae dan - sampai kisaran yang lebih kecil - Caesionidae dipilih, sedangkan famili-famili lainnya disingkirkan. Jika tipe mangsa ini tidak ada, maka ikan famili apogonidae dipilih, sedangkan pomacentridae yang lebih berasosiasi dengan terumbu disingkirkan. Percobaan laboratorium mendukung hipotesis bahwa pola-pola seperti ini disebabkan terutama oleh perilaku mangsa. Laju makan kedua spesies ikan rock-cod jauh lebih besar pada musim panas dibandingkan pada musim dingin, dan pada musim panas mereka berkonsentrasi pada ikan-ikan kecil yang melakukan rekruitmen. Bagaimanapun, ada sedikit vasiasi laju makan antar habitat, namun tampaknya disebabkan oleh perbedaan kelimpahan mangsa. Sebagai ringkasan, penelitian terhadap bagaimana ekologi makan pada ikan pemangsa yang berespon terhadap variasi kelimpahan mangsa menyediakan mekanisme potensial mengenai bagaimana pemangsaan mempengaruhi struktur komunitas ikan terumbu karang (Beukers-Stewart dan Jones, 2004).

Baca juga :
Ekologi Ikan Karang

Pola dan Sebab-Akibat Variasi Regional Ekologi dan Sejarah Hidup Ikan Karang

Menurut Ruttenberg et al. (2005) banyak spesies bervariasi dalam hal ekologinya sepanjang kisaran geografisnya sebagai respon terhadap perbedaan kondisi lingkungan. Variasi seperti ini, yang dapat mempengaruhi sifat sejarah hidup dan selanjutnya mempengaruhi demografi populasi, biasanya terjadi pada skala ruang yang luas. Bagaimanapun, deskripsi dan pemahaman faktor-faktor penyebab variasi ini sulit dilakukan dengan tepat karena terjadi pada skala ruang yang demikian luas. Dalam penelitian ini, telah didokumentasi variasi ruang dalam hal ekologi spesies ikan karang yang umum, Stegastes beebei, di Kepulauan Galápagos dan menguji sejumlah mekanisme penyebab potensial. Pola yang mirip dengan ini terlihat dalam variasi lintang : individu yang lebih besar terdapat dalam kepadatan yang lebih tinggi dan hidup lebih lama di daerah-daerah terdingin di kepulauan ini daripada di daerah terhangat. Bagaimanapun, dalam sistem ini, demografi bervariasi antar populasi regional yang dipisahkan oleh jarak kurang dari 150 km. Alga makanan yang lebih disukai adalah yang paling tersedia di daerah dingin. Per gram upaya reproduktif tampaknya sangat berkaitan dengan suhu, walaupun ada perbedaan dalam hal waktu dan derajat reproduksi di berbagai daerah. Sebuah model output reproduktif menunjukkan bahwa ikan di daerah terhangat mengalokasikan lebih banyak energi untuk reproduksi, yang menyebabkan perubahan sejarah hidup regional. Data kami menunjukkan bahwa perbedaan demografi regional pada Stegastes beebei mungkin disebabkan oleh kombinasi variasi ketersediaan makanan dan perubahan sejarah hidup yang diperantarai oleh lingkungan


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Selasa, 28 April 2015

Arsip Artikel Perikanan : Kompilasi II

Arsip Cofa No. D 002


Ringkasan :
- Ciri Umum dan Kelompok-Kelompok Alga
- Perkembangan Gonad Ikan Sidat, Anguilla
- Pengaruh Kepadatan Populasi Terhadap Jenis Kelamin Ikan Sidat
- Variasi Kekebalan Penyakit Pada Spesies Ikan Yang Berkerabat Dekat
- Difusi Oksigen Secara Alami di Kolam Ikan
- Fitoplankton dan Produksi Oksigen di Kolam Ikan
- Pemijahan Buatan Pada Ekinodermata
- Peranan Persaingan Dalam Distribusi Ikan Karang
- Pengaruh Pemangsaan Terhadap Struktur Komunitas Ikan Karang
- Kultur Alga Bersel Satu, Chlorococcum littorale, Dengan Kepadatan Sangat Tinggi
- Perbandingan Karang Tropis Dengan Karang di Daerah Beriklim-Sedang
- Pelet Yang Mampu Melepaskan Hormon Gonadotropin Terus-Menerus
- Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap
- Sejarah Hidup dan Reproduksi Ikan Kakap Lates calcarifer
- Pelet GnRH Untuk Merangsang Pemijahan Berulang Pada Ikan Kakap
- Upaya Merangsang Pemijahan Ikan Belanak Dengan Hormon dan Manipulasi Faktor Lingkungan
- Distribusi dan Reproduksi Mugil cephalus
- Pedoman Umum Media Isolasi Jamur Patogen
- Daya Patogen Jamur Penyebab Penyakit Ikan
- Pengaruh Kadar Protein Pakan Induk Ikan Terhadap Komposisi Kimia Telurnya
- Pengaruh Mutu Pakan Induk Ikan Terhadap Mutu Telur Yang Dihasilkan
- Pengaruh Karang Hidup Terhadap Komunitas Ikan Karang
- Ban dan Struktur Pengeboran Minyak Sebagai Habitat Buatan Untuk Ikan
- Hormon Untuk Mengubah Jenis Kelamin Individu
- Pembalikan Jenis Kelamin Ikan Dengan Hormon Reproduksi
- Proses Pembentukan Sperma Ikan Teleostei
- Pola Pembentukan Pasangan Kawin Pada Ikan Anemon, Amphiprion
- Biologi Reproduksi Anemonfish, Amphiprion
- Pembalikan Jenis Kelamin Pada Ikan
- Pengaruh Ukuran Ikan Terhadap Efisiensi Penangkapan Trammel Net dan Gill Net
- Pengaruh Perikanan Tangkap dan Pemulihan Stok Terhadap Dinamika Populasi Ikan Demersal
- Arti Penting Vitelogenin dan Komponen-Komponen Telur Ikan
- Morfologi Otot Ikan
- Keanekaragaman Bentuk Badan Ikan
- Pernafasan Udara Pada Ikan
- Hubungan Efek pH Dengan Gelembung Renang dan Kedalaman Habitat Ikan
- Hubungan Daya Apung, Darah, Tekanan Oksigen dan Gelembung Renang Ikan
- Penemuan Organisme Laut di Luar Daerah Distribusi Normalnya
- Zonasi Bentos di Pantai Berbatu dan Hutan Mangrove
- Pengaturan Daya Apung Pada Ikan
- Komposisi Kimia, Padatan dan Partikel Dalam Air Kolam Ikan
- Konsep Ekologi : Distribusi Umur Populasi
- Komposisi Ukuran dan Umur Populasi Kerang Pismo
- Siklus Hidup dan Dinamika Populasi Siput Limpet Helcion
- Fosil Avertebrata
- Proses Pembentukan Fosil Avertebrata
- Efektivitas Hormon Steroid Sintetis Dalam Merangsang Pembalikan Jenis Kelamin Ikan
- Perbandingan Antara Produksi Perikanan Laut dan Pertanian Darat
- Keunggulan dan Kelemahan Metode Akustik/Penginderaan Jauh Dalam Menduga Stok Ikan
- Aktivitas Algasida Senyawa Turunan Sulfonil Dari PCB dan Difenil Eter
- Pengaruh Hormon Terhadap Ciri Seks Sekunder Ikan
- Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Reproduksi Ikan Eupomacentrus
- Sejarah Teknik Pemijahan Buatan Pada ikan Dengan Hipofisasi
- Hutan Bakau Sebagai Jalur Migrasi
- Ekskresi dan Osmoregulasi Pada Lamprey dan Ikan Air Tawar
- Bioekologi Ikan Amia
- Bioekologi Ikan Pengisap (Sapu-Sapu)
- Migrasi Ikan dan Percampuran Air Sungai Dengan Air Laut
- Pertumbuhan Buaya
- Senyawa Sterol Pada Nannochloropsis
- Karakteristik Pertumbuhan, Pola Alokasi Biomas dan Zata Hara Pada Tumbuhan Rawa, Carex
- Respon Pertumbuhan Carex inopinata Terhadap Cahaya

- Daftar Pustaka
Kata penting :
Alga, Cyanophyta (alga hijau biru), Prochlorophyta, Rhodophyta (alga merah), Phaeophyta (alga coklat), Protista, perkembangan gonad ikan sidat, diferensiasi gonad, kepadatan populasi, jenis kelamin ikan, kekebalan penyakit, patogen (virus, bakteri, parasit), VHS (Viral Haemorrhagic Septicaemia), IPN (Infectious Pancreatic Necrosis), konsentrasi oksigen terlarut, fotosintesis, fitoplankton, pemijahan buatan pada ekinodermata, pomacentridae, peremajaan ikan karang, struktur komunitas ikan karang, pemangsaan ikan, angin badai, analog hormon pelepas hormon gonadotropin (GnRH-A), selulosa, kolesterol, analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), D-Ala6, Pro9-ethylamide, D-Arg6, Pro9-ethylamide, merangsang pemijahan ikan kakap, pembalikan jenis kelamin (sex reversal), analog hormon pelepas gonadotropin (Gonadotropin Releasing Hormone analogue; GnRHa), merangsang pemijahan ikan kakap, kolesterol, selulosa, ikan belanak abu-abu, Human Chorionic Gonadotropin (HCG), metiltestosteron, vitelogenesis, isolasi jamur patogen, terumbu karang, komunitas ikan karang, terumbu buatan, terumbu ban, pengeboran, pipa bawah laut, pengubahan jenis kelamin, estrogen, androgen, testosteron, steroid seks, diferensiasi seks, kerapu, spermatogenesis, ikan anemonfish, trammel net, gill net, ikan demersal, penangkapan ikan, perikanan, vitelogenin, morfologi otot ikan, bentuk badan ikan, pernafasan udara, paru-paru, ikan betok, efek Root, daya apung, gelembung renang, makroalga kecil, teritip, lichenes, daya apung ikan, kerang pismo, pembalikan jenis kelamin (sex reversal), androgen sintetis, 19-nor-ethynyltestosterone, 11-ketotestosterone, estrogen sintetis, hexesterol, euvastin, ethylestradiol, , kesuburan laut, metode akustik pendugaan stok ikan, penginderaan jauh (remote sensing), sulfonil, polychlorobenzene, PCB, algasida, DDT, herbisida, ciri seks sekunder ikan, keberhasilan reproduksi, damselfish, pijah rangsang, kelenjar pituitari, hipofisasi, sturgeon, karper, black carp, mangrove, bakau, rawa hutan bakau, insang, membran mulut, usus, urin, ikan Amia, ikan sucker, ikan pengisap/sapu-sapu, migrasi ikan, pertumbuhan buaya, lipida, Anguilla, Ceratomyxa shasta, Stegastes planifrons, Dascyllus aruanus, Dascyllus reticulatus, Chlorococcum littorale, Lates calcarifer, Mugil cephalus, Aphanomyces astaci, Ichthyoponus, Trichomaris invadens, Lagenidium callinectes, Scyliorhinus caniculata, Epinephelus tauvina, Poecilia shenope, Amphiprion clarkii, Amphiprion frenatus, Amphiprion perideraion, Polypterus, Amia, Scorpaena guttata, Sebastes, Sargassum, Caulerpa, Dictyopteris, Bifurcaria, Turbinaria, Chtamalus, Siphonaria, Nerita, Ostrea, Littorina, Tivela stultorum, Helcion pellucidum, Mastocarpus stellatus, Laminaria, Himanthalia, Poecilia reticulata, Chlorella fusca, Anabaena variabilis, Eupomacentrus partitus, Acipenser stellatus, Mylopharyngodon piceus, Aristichthys nobilis, Hypophthalmichthys molitrix, Ctenopharyngodon idellus, Catla catla, Labeo rohita, Cirrhinus mrigala, Nannochloropsis oculata, Nannochloropsis salina, Carex acutiformis, Carex rostrata, Carex diandra, Carex inopinata.

donasi dg belanja di Toko One


Baca online (login facebook lebih dulu) :
Download lengkap (format pdf bisa diedit; 217 KB; 40 halaman)
ARTIKEL TERKAIT

Jumat, 24 April 2015

Merangsang Pemijahan Ikan Dengan LHRH (Luteinising Hormone Releasing Hormone)

Arsip Cofa No. C 192

Pemijahan Buatan Pada Bandeng Dengan Testosteron dan GnRH-A

Marte et al. (1988) telah melakukan sembilan percobaan untuk meneliti pengaruh pemberian secara kronis (menahun) hormon testosteron dan analog hormon pelepas gonadotropin tehadap kematangan pertama kali ikan bandeng umur 4 – 6 tahun dan pematangan kembali ikan umur 6 sampai lebih dari 9 tahun yang gonadnya telah menyusut/telah dikeluarkan isinya.

Pencangkokan hormon testosteron (T) atau T yang dikombinasikan dengan luteinizing hormone-releasing hormone analogue (LHRH-A) tidak banyak berpengaruh terhadap laju pematangan gonad ikan bandeng umur 4 tahun. Persentase ikan matang gonad adalah rendah dan sama dengan kontrol pada percobaan 1 (T, 31 – 35 %; kontrol, 35 %) dan percobaan 3 (T, 13 %; T plus LHRH-A, 28 %; kontrol, 22,2 %). Kebanyakan ikan umur 4 tahun yang matang gonad adalah jantan; betina matang gonad hanya diperoleh dari kelompok yang dicangkoki T pada percobaan 1. Pada percobaan 3, betina matang gonad yang dicangkoki T dapat menahan telur-telur yang berkuning telur, sedangkan ikan betina kontrol yang matang gonad tidak dapat, hal ini menunjukkan bahwa testosteron mungkin meningkatkan vitelogenesis dan mempertahankan kesatuan oosit vitelogenik. Ikan betina umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki, sekitar setengah ukuran ikan betina lebih tua yang pertama kali matang gonad, dirangsang untuk memijah. Hal ini merupakan masus pertama pematangan dan pemijahan bandeng umur 4 tahun yang dipelihara dalam tangki (Marte et al., 1988).

Marte et al., (1988) menambahnkan bahwa seperti pada percobaan 1 dan 3, persentase ikan dengan gonad telah dikeluarkan isinya yang matang kembali pada percobaan 7 dan 8 serupa dengan yang dicangkoki-T dan kontrol. Sebaliknya, ikan umur 4 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 2 dan 4, ikan umur 5 dan 6 tahun yang belum matang gonad pada percobaan 5 dan 6, serta ikan umur 6 tahun dengan gonad telah dikeluarkan isinya pada percobaan 9 tetap tidak matang gonad atau gonadnya menyusut semuanya. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil-hasil percobaan ini mencakup umur dan sejarah reproduktif ikan, waktu pencangkokan hormon, kondisi percobaan dan pemeliharaan, serta stres.

Baca juga :
Mekanisme Kerja dan Pengaturan Sekresi Hormon

Pemijahan Buatan Dengan Hormon LHRH

Nandeesha et al. (1990) menyatakan bahwa sejumlah penelitian telah dilakukan pada spesies mamalia yang memperlihatkan kontrol neuroendokrin terhadap sekresi hormon-hormon gonad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perangsangan sekresi gonadotropin endogen lebih mungkin dilakukan daripada penggunaan gonadotropin eksogen seperti ekstrak pituitari atau HCG. Luteinising Hormone Releasing Hormone (LHRH) mampu melepaskan Luteinising Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dari kelenjar pituitari. Laporan penelitian yang dilakukan di Cina mengenai keberhasilan analog LHRH mamalia (D-Ala6, Pro9NEt) dalam merangsang pemijahan ikan karper telah menarik perhatian dunia terhadap penggunaan LHRH untuk memijahkan berbagai spesies ikan. Meski beberapa spesies ikan telah dilaporkan hanya berespon terhadap LHRH analog, penelitian mendetail tentang metodologi pemijahan ikan karper dengan LHRH analog di Cina menunjukkan bahwa petani ikan biasanya menggabungkan analog ini dengan pituitari atau HCG untuk memperoleh keberhasilan yang dikehendaki.

Kombinasi LHRH dan Antagonis Dopamin Untuk Pemijahan Ikan Buatan

Menurut Nandeesha et al. (1990) kemajuan besar dalam penelitian pemijahan ikan adalah penemuan dopamin yang beraksi sebagai faktor penghambat sintesis gonadotropin. Penelitian mendetail mengenai alasan kegagalan pemijahan ikan bila hanya menggunakan LHRH saja dengan jelas menunjukkan bahwa dopamin mempengaruhi aksi LHRH terhadap sekresi gonadotropin. Jadi, penghambatan aksi dopamin dengan agen-agen antagonis seperti pimozide akan mendorong aksi LHRH sehingga pemijahan bisa berhasil. Serangkaian penelitian di Cina yang dibiayai oleh IDRC dan dilakukan oleh Dr. R.E. Peter dari Kanada dan Dr. H.R. Lin dari Cina membuktikan bahwa kombinasi LHRH analog dengan antagonis dopamin dapat efektif menggantikan fungsi pituitari ikan dalam merangsang pemijahan ikan karper. Kedua ilmuwan ini menamakan teknik baru pemijahan tersebut “Linpe Method”.

Baca juga :
Reproduksi dan Endokrinologi

Cangkok Hormon LHRH Untuk Merangsang Pemijahan Bandeng

Lee et al. (1985) dalam Lee dan Liao (1985) melaporkan bahwa baru-baru ini ada beberapa metode yang dikembangkan untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan penyuntikan hormon yang berulang-ulang. Teknik baru ini menggunakan pelet hormon yang melepaskan sejumlah tertentu “pesan” kimia selama periode yang panjang. Satu contoh khas pelet yang mampu melepaskan hormon sedikit demi sedikit adalah pelet yang berisi hormon pelepas-hormon luteinizing atau luteinizing hormone-releasing hormone (LHRH) dalam bentuk matriks kolesterol. Pelet ini dibuat untuk mengendalikan pelepasan senyawa neuropeptida tersebut ke dalam tubuh binatang.

Struktur molekul LHRH telah diketahui sehingga kita dapat memproduksi secara sintetis LHRH analog yang beberapa kali sampai ratusan kali lebih kuat daripada neuropeptida alami. LHRH analog (LHRH-A) ini dibentuk menjadi pelet dan telah berhasil digunakan untuk memperpanjang periode pemijahan ikan salmon Atlantik dan ikan rainbow trout. Ketika bandeng diberi pelet kolesterol LHRH-A seperti ini, kematangan gonad dengan persentase lebih tinggi dilaporkan berhasil dicapai pada ikan tersebut dan kematangan gonad ini terjadi kira-kira sebulan sebelum masa musim reproduksi normalnya (Lee et al., 1985, dalam Lee dan Liao, 1985).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Merangsang Pelepasan Gonadotropin Dengan LHRH Pada Ikan Mas

Menurut Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983) LHRH sintetis dapat merangsang pelepasan GtH (gonadotropin hormon) dari pituitari teleostei. Telah ditemukan bukti langsung yang pertama untuk hal ini : penyuntikan LHRH secara intravena pada ikan mas, Cyprinus carpio, menyebabkan peningkatan secara tajam konsentrasi GtH dalam plasma darah dalam waktu 2 – 6 menit setelah penyuntikan. Dengan LHRH dosis rendah (250 nanogram/kg), mula-mula konsentrasi GtH plasma meningkat kemudian kembali normal dalam waktu sekitar 10 menit. Bagaimanapun, peningkatan konsentrasi hormon ini terus berlangsung sedikitnya selama 25 menit pada ikan yang diberi dosis tinggi (1 mikrogram/kg). Dua kali penyuntikan LHRH (3 mikrogram/kg) dengan selang waktu 3 jam menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH plasma selama sedikitnya 12 jam. Kepekaan tertinggi terhadap LHRH selama siklus reproduksi ikan mas adalah dari musim pemijahan musim semi sampai musin panas, dan bahwa kepekaan minimal adalah pada musim dingin di mana kegiatan seksual ikan tidak aktif. Sayangnya, ovulasi buatan pada ikan mas dengan penyuntikan LHRH masih gagal.

Baca juga :
Pemijahan Buatan Pada Ikan

Variasi Kepekaan Gonad Ikan Terhadap LHRH

Peter (1983) dalam Hoar et al. (1983), berdasarkan laporan peneliti-peneliti lain, menyatakan bahwa perlakuan terhadap ikan salmon Atlantik atau rainbow trout yang belum matang gonad dengan steroid estrogen mendorong pituitari memproduksi GtH. Hormon pelepas hormon luteinizing (LHRH) menyebabkan pelepasan GtH dengan laju tergantung-dosis dari pituitari secara in vitro pada ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid. Bagaimanapun, pituitari ikan yang tidak diberi perlakuan tidak melepaskan GtH setelah disuntik LHRH. Dalam kaitannya dengan respon in vivo terhadap LHRH, rainbow trout matang gonad (namun belum memijah) lebih peka terhadap LHRH dibandingkan ikan pada TKG (Tingkat Kematangan Gonad) lain. Penyuntikan tunggal LHRH menyebabkan peningkatan konsentrasi GtH yang tergantung-dosis, peningkatan ini tetap bertahan selama sedikitnya 6 jam, pada rainbow trout (Salmo truta) jantan yang matang gonad (sedang mengalami spermiasi). Senyawa analog LHRH buatan yang menghambat pelepasan LH pada mamalia (analog LHRH penghambat atau “inhibitory LHRH analogue”/i-LHRHa) juga menghambat pelepasan GtH yang dirangsang secara in vivo oleh LHRH pada ikan brown trout jantan dewasa. Bagaimanapun, senyawa-senyawa analog LHRH yang sangat aktif tidaklah lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang peningkatan konsentrasi GtH plasma. Dengan menggunakan pituitari dari ikan rainbow trout muda yang diberi perlakuan steroid secara in vitro, telah ditemukan fakta bahwa senyawa analog LHRH paling aktif yang sedikit lebih aktif daripada LHRH dalam merangsang pelepasan GtH hanyalah des-Gly10[D-Ala6]LHRH etilamida; i-LHRHa juga efektif secara in vitro.

Baca juga :
Prosedur Penyuntikan Pituitari dan Pemijahan Buatan Pada Ikan Karper

Pengaruh Pemberian LHRHa Terhadap Konsentrasi Gonadotropin

Crim et al. (1988) melakukan penelitian dengan menggunakan ikan bioesei berupa ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang; hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan secara in vivo dengan LHRH analog asal mamalia berhasil merangsang pelepasan hormon gonadotropin (GtH). Setelah penyuntikan-sekali LHRH analog (LHRHa) secara intraperitoneal, baik LHRHa maupun GtH dengan cepat meningkat di dalam plasma darah dan tetap tinggi selama beberapa jam. Meskipun konsentrasi LHRHa dalam plasma darah turun sampai ke tingkat yang tak dapat dideteksi setelah 11 jam, namun konsentrasi GtH dalam plasma darah, yang mulai menurun setelah 7,5 jam, tetap lebih besar daripada nilai kontrol selama kira-kira 2 hari. Ikan trout yang kembali diberi LHRHa setelah kira-kira 47 jam mengalami peningkatan konsentrasi GtH dalam plasma darah secara cepat, yang menunjukkan bahwa pituitari tetap mempertahankan kepekaannya terhadap pemberian LHRHa selanjutnya. Berlawanan dengan peningkatan dalam waktu relatif singkat konsentrasi GtH plasma setelah pemberian LHRHa melalui penyuntikkan-sekali, peningkatan konsentrasi GtH yang lebih lama yang berlangsung selama beberapa hari atau bahkan berminggu-minggu telah terbukti terjadi setelah pencangkokan hormon secara intramuskular atau intraperitoneal pada ikan trout dengan sebuah pelet LHRHa kolesterol. Penelitian lebih lanjut terhadap pelet campuran selulosa/kolesterol menunjukkan bahwa semua pelet kolesterol dengan adanya selulosa meningkatkan laju pelepasan LHRHa secara in vivo, terutama bila dibandingkan dengan pelet kolesterol murni (100 %) yang mengandung coklat mentega sebagai agen perekat. Disimpulkan bahwa pelepasan LHRHa secara cepat (dalam waktu singkat) dapat dicapai dengan menggunakan pelet selulosa/kolesterol, sedangkan pelepasan LHRHa dalam waktu panjang dapat dicapai dengan menggunakan pelet kolesterol murni.

Cangkok LHRHa Meningkatkan Konsentrasi Hormon Gonadotropin Dalam Jangka Panjang

Crim et al. (1988) melaporkan bahwa LHRH analog dari mamalia, (D-Ala6, Pro9-NHEt)LHRH, merupakan hormon yang berpotensi merangsang pelepasan GtH pada ikan rainbow trout umur setahun yang testosteronnya mulai berkembang. Penyuntikan-sekali cairan yang mengandung 20 mikrogram/kg LHRHa menyebabkan peningkatan konsentrasi LHRHa sampai ke level yang dapat dideteksi di dalam plasma darah yang belangsung beberapa jam, dan mempunyai pengaruh berjangka relatif singkat terhadap profil GtH plasma yang berlangsung tidak lebih dari 48 jam dengan konsentrasi tertinggi GtH plasma terjadi selama beberapa jam pertama, yakni kira-kira 5 jam setelah perlakuan. Pemberian LHRHa melalui pencangkokan pelet kolesterol memperpanjang periode di mana hormon peptida ini bekerja terhadap ikan dan memungkinkan konsentrasi GtH plasma tetap tinggi dalam tubuh ikan selama lebih dari 48 jam, bahkan selama beberapa minggu tergantung pada jenis pelet selulosa/kolesterol yang dipakai. Pelet kolesterol murni, terutama yang mengandung agen perekat berupa mentega coklat, relatif lambat dalam melepaskan LHRHa sehingga memungkinkan pelepasan LHRHa dalam jangka panjang (berminggu-minggu). Dalam hal ini metode pencangkokan intraperitoneal maupun intramuskular sama-sama efektif. Sulit untuk menentukan dosis LHRHa yang tepat dalam cangkokan kolesterol bagi ikan-ikan dengan ukuran dan spesies yang berbeda; data terdahulu memperkuat dugaan bahwa untuk merangsang pemijahan ikan sea bass dengan berat badan 1 sampai 5 kg, dosis ambang LHRHa dalam sebuah pelet kolesterol kira-kira adalah 25 – 125 mikrogram hormon per pelet.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 20 April 2015

Ekologi Jamur Air

Arsip Cofa No. C 191

Klasifikasi dan Habitat Jamur Air

Phycomycetes air mencakup sejumlah kelas jamur di mana hubungan jamur tersebut dengan lingkungannya baru sedikit diketahui. Jamur lendir, yang mencakup Labyrinthulate dan kerabat dekatnya, tidak lazim digolongkan sebagai phycomycetes air : mereka hidup di tanah karena sebagian di antaranya berkerabat jauh dengan Oomycetes, tetapi ada sedikit jamur ini yang ditemukan di perairan tawar. Dengan demikian kelompok ini tidak dibahas dalam uraian ini. Kelas dan ordo jamur yang memiliki peranan penting dalam ekologi phycomycetes air tawar adalah :

- Kelas Oomycetes : Ordo Saprolegniales, Leptomitales, Lagenidiales, Peronosporales
- Kelas Hyphochytridiomycetes : Ordo Hyphochytriales
- Kelas Chytridiomycetes : Ordo Chytridiales, Blastocladiales, Monoblepharidales
- Kelas Zygomycetes : Ordo Mucorales, Entomophthorales
- Trichomycetes : Ordo Amoebidiales, Harpellales, Eccrinales, Asellariales

Ekologi Hyphochytridiomycetes masih belum banyak diketahui, sehingga sebagian besar uraian berikut membahas tiga kelompok jamur yaitu jamur biflagelata heterokont, jamur berflagel-satu dan Zygomycotina. Meskipun ketiga kelompok jamur ini telah dikenal, namun penelitian keseimbangan ekologi jamur-jamur tersebut tidak banyak dilakukan.

Jamur telah berhasil diisolasi dari ekosistem perairan yang meliputi sungai dan anak-anak sungai serta bagian hulu estuaria, juga danau dan kolam, danau-rawa, rawa serta sawah, kubangan dan genangan air sementara. Pada lokasi atau musim di mana air mengalir deras terbentuk kondisi perairan lotik (mengalir). Lingkungan lentik (menggenang) timbul pada badan air yan lebih tenang, dan di sini perubahan vertikal mendominasi sehingga terbentuk termoklin akibat perbedaan faktor-faktor fisika-kimia perairan dan merangsang biota melakukan migrasi vertikal harian. Lingkungan lentik yang agak dangkal bisa menjadi lotik pada saat hujan lebat. Jadi semua istilah umum ini hanya merupakan pendekatan dan harus digunakan sesuai dengan kondisinya.

Dalam semua jenis lingkungan tersebut ada empat zona yang mungkin terbentuk : zona perairan bebas, bidang batas udara/air, bidang batas air/dasar perairan dan zona litoral. Habitat-habitat ini bisa berhubungan dengan habitat lainnya melalui air permukaan dan air yang ada di sela-sela sedimen. Perbedaan zona-zona tadi timbul akibat interaksi iklim dan musim dengan perairan, yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi tekanan oksigen dan karbon dioksida, pencucian dan pelarutan mineral serta ketersediaan substrat.

Dalam lingkungan perairan juga terjadi berbagai macam hubungan substrat. Sebagai contoh adalah :

(1) Substrat partikulat kecil (seperti serbuk sari, biji-biji tumbuhan kecil, plankton, potongan-potongan bangkai serangga ecil, dan lain-lain) yang melayang-layang bebas di dalam kolom air serta dicirikan oleh keberadaannya dalam air yang sangat singkat dan terpisah dari semua unit substrat.
(2) Substrat yang terletak atau melekat pada suatu obyek dalam sistem perairan (mencakup detritus dasar perairan, epifit dan parasit pada batang, daun dan akar tumbuhan tingkat tinggi, serta saprofit dan parasit yang menempel pada binatang besar di mana perubahannya lebih lambat dan bergantian (suksesi).
(3) Saprofit di dalam perut binatang di mana adaptasinya terhadap niche ekologis sama seperti yang dilakukan oleh parasit internal obligatif (yakni parasit internal yang hanya menyerang inang atau bagian tubuh inang tertentu saja) dan di mana pengaruh langsung lingkungan perairan ini terhadap pertumbuhan vegetatif jamur sangat kecil.

Baca juga :
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Jamur

Jamur Air Saprolegniales

Istilah “jamur air”, meskipun dapat dipakai juga untuk menunjukkan beberapa anggota jamur lainnya, biasanya digunakan untuk menyatakan Saprolegniales, karena kebanyakan jamur ordo ini melimpah di perairan yang jernih dan mudah memulihkan-diri bila terjadi gangguan. Banyak spesies anggota ordo ini, bagaimanapun, hidup di darat. Kebanyakan spesies jamur ordo ini bersifat saprobik dan sedikit yang mempunyai nilai ekonomis penting secara langsung. Beberapa di antaranya merupakan parasit penting. Sebagian spesies dari genus Saprolegnia, seperti Saprolegnia parasitica, menyebabkan penyakit pada ikan dan telur ikan, dan bisa juga menimbulkan kerugian besar pada hatchery ikan. Genus Aphanomyces membawahi beberapa spesies yang merupakan parasit penghancur akar tumbuhan berpembuluh sehingga menyebabkan kerusakan parah pada pertanian gula bit, kacang dan lain-lain (Alexopoulus, 1960).

Baca juga :
Media Pertumbuhan, Kebutuhan Nutrisi dan Pengaruhnya Terhadap Reproduksi Jamur Air

Antibiotik Untuk Mengisolasi Jamur Air

Menurut Alderman (1982) dalam Roberts (1982) salah satu kesulitan besar dalam meneliti penyakit jamur pada binatang air adalah masalah isolasi jamur yang akan diamati. Kulit yang rusak akibat infeksi mungkin diserang oleh lebih dari satu jenis jamur air, bahkan sekalipun bila diserang oleh satu jenis jamur masih ada kesulitan lain karena spora dari berbagai jenis saprofit yang tumbuh cepat akan menutupi spesies jamur primer tadi. Masalah ini menjadi lebih sulit apabila jaringan yang dipilih untuk isolasi tidak sesuai. Makin parah infeksi makin besar kemungkinan tercemar saprofit sekunder. Setelah binatang mati nilai isolat yang diperoleh dari bangkainya tidak berguna.

Alderman (1982) dalam Roberts (1982) menyatakan bahwa sebelum teknologi antibiotik berkembang, sangat sulit memastikan bahwa isolat bebas dari kontaminasi bakteri. Perlakuan pencucian dan subkultur harus dilakukan berkali-kali, bersama dengan penutupan gelas wadah kultur untuk membatasi pertumbuhan bakteri. Saat ini, kebanyakan peneliti menggunakan antibiotik dalam media isolasi awal. Mungkin kombinasi antibiotik yang paling terkenal adalah penisilin dan streptomisin sebanyak 0,5 gram untuk setiap liter media agar-agar. Antimikroba lain yang juga dipakai adalah kalium telurit dan carbenisilin, tetapi tidak ada bukti kuat bahwa antibiotik ini cukup menguntungkan. Beberapa jenis jamur, seperti Aphanomyces astaci terlalu peka terhadap antibiotik sehingga antibotik tersebut tidak dapat dipakai untuk mengisolasinya. Karena jamur ini tumbuh pada rangka luar inangnya, isolat jamur ini mungkin dapat diperoleh dengan mensterilkan permukaan bagian tubuh yang terinfeksi dengan alkohol sehingga terhindar dari kontaminasi.

Baca juga :
Jamur Dalam Ekosistem Perairan dan Penyakit Yang Ditimbulkannya

Keunggulan Respirasi Aerob Dibandingkan Fermentasi Pada Jamur Air

Menurut Dick (1976) dalam Jones (1976), efisiensi konversi energi dari substrat menjadi protoplasma jamur tergantung pada interaksi antara faktor lingkungan, kemampuan biokimia yang dimiliki jamur serta tipe sumber karbon yang tersedia dalam substrat. Fermentasi relatif tidak efisien dibandingkan dengan respirasi aerob yang menghasilkan lebih banyak energi dalam kondisi ada oksigen dan sumber karbon terbatas; fermentasi mengharuskan jamur memiliki derajat diferensiasi sitoplasmik internal yang tinggi dan respirasi endogenous yang tinggi pula. Bagaimanapun, dalam lingkungan perairan, difusi oksigen relatif lamban, dan kecuali bila terjadi pengadukan atau segera mendapat masukan oksigen dari hasil fotosintesis, akan timbul kecenderungan kekurangan oksigen, sehingga menghambat efisiensi respirasi. Dengan demikian, organisme yang beradaptasi terhadap respirasi oksidatif dalam lingkungan perairan menunjukkan kecenderungan laju pertumbuhan metaboliknya rendah pada sumber karbon yang terbatas, atau siklus vegetatifnya singkat pada substrat di mana sumber karbon dengan cepat menjadi terbatas, seperti pada kasus-kasus organisme holocarpic yang sering terdapat di lingkungan perairan. (Holocarpic adalah jamur yang seluruh talusnya berkembang menjadi badan buah atau sporangium. Lawan holocarpic adalah eucarpic).

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Telah diketahui dengan baik bahwa melimpahnya zat gula yang sangat mudah difermentasi cenderung menghambat respirasi aerobik sekalipun pada kondisi aerobik (pergeseran ke pola fermentatif ini biasanya melibatkan enzim fumarate reduktase). Bila sumber nutrien seperti ini agak sulit diuraikan secara total karena strukturnya menghambat organisme kompetitor, dan bila sumber nutrien ini tersedia secara teratur atau secara periodik, kita bisa mengharapkan bahwa organisme akan berevolusi dengan mengembangkan suatu sistem enzim yang lebih dapat mendukung proses fermentasi meskipun kondisi lingkungan sebagian aerobik. Interaksi antara lingkungan perairan, substrat dan kemampuan biokimia jamur ini menjadi dasar penggunaan umpan klasik jeruk dan buah tumbuhan mirip-mawar untuk mengumpulkan jamur Rhipidiaceae dan Blastocladiaceae.

Jadi suatu substrat alami yang kompleks mungkin pada saat yang sama ditumbuhi oleh berbagai jenis jamur, sebagian di antaranya berespirasi secara aerobik sementara yang lain menggunakan fermentasi. Dalam kondisi ini sulit untuk menghubungkan semua rasio (quotient) repirasi dengan nilai dugaan jumlah propagule (struktur reproduktif jamur) dan/atau jumlah massa miselial agar dapat menghasilkan persamaan produktivitas jamur, kecuali bila komposisi populasi jamur dapat diketahui.

Pengaruh pH, Suhu dan Oksigen Terhadap Jamur Air

Dick (1976) dalam Jones (1976) menyatakan bahwa jamur berperanan penting dalam aliran energi dan produktivitas ekosistem perairan melalui keberadaannya sebagai sumber karbon dan aktivitas metabolismenya terhadap substrat yang sesuai. Dalam lingkungan alami, penguraian substrat dilakukan baik secara bersama-sama maupun satu setelah yang lain oleh berbagai jenis jamur dan organisme lainnya yang mampu beradaptasi terhadap, atau toleran terhadap, kondisi lingkungan tertentu yang berkaitan dengan media cair. Kondisi tersebut berkenaan dengan laju difusi oksigen dan karbon dioksida serta pengaruh bahan-bahan terlarut, termasuk karbon dioksida, terhadap pH media. Ketersediaan oksigen, pH dan suhu merupakan parameter penting yang mempengaruhi efisiensi sistem enzim suatu jamur. Dalam lingkungan perairan, faktor-faktor ini bisa berubah dengan cepat. Fasilitas yang digunakan oleh jamur agar dapat mengaktifkan sistem enzim yang sesuai dengan kondisi yang selalu berubah-ubah ini dengan demikian sangat penting dipelajari untuk memahami ekologi jamur.

Baca juga :
Respirasi dan Metabolisme Jamur Air

Kebutuhan Vitamin Pada Jamur Air

Gleason (1976) dalam Jones (1976) menjelaskan secara singkat kebutuhan vitamin pada jamur air. Kebanyakan jamur air bersifat autotrof (bisa mensintesis sendiri) terhadap berbagai jenis vitamin atau hanya membutuhkan tiamin saja. Sering ada variasi yang besar dalam hal kebutuhan tiamin pada jamur-jamur yang berkerabat dekat. Keberhasilan penggunaan tiamin untuk mengidentifikasi jamur telah dibahas oleh beberapa peneliti. Vitamin-vitamin lain jarang dibutuhkan, di antaranya biotin, p-amino benzoat dan nikotinamida.

Kebutuhan Nitrogen Pada Jamur Air

Menurut Gleason (1976) dalam Jones (1976) sumber nitrogen yang biasa digunakan jamur dibagi menjadi tiga kelompok : amino nitrogen, amonium nitrogen dan nitrat nitrogen. Kebutuhan nitrogen sangat bervariasi di antara jamur-jamur anggota Chytridiomycetes dan Oomycetes. Beberapa anggota Chytridiomycetes, Monoblepharidales dan Peronosporales dapat memanfaatkan amonium dan nitrat nitrogen. Sebagian anggota ordo terakhir ini dan Blastocladiales , Saprolegniales serta Leptomitales mampu memanfaatkan amonium nitrogen tetapi tidak bisa menggunakan nitrat nitrogen. Sebagian jamur air tidak dapat memanfaatkan sama sekali sumber nitrogen anorganik sebagai contoh, Catenaria dan Sapromyces. Asam glutamat atau asparagin sangat sering dipilih sebagai sumber amino nitrogen, tetapi banyak juga jenis asam amino lain yang bisa dijadikan sumber nitrogen. Menarik untuk diperhatikan bahwa penambahan lisin ke dalam media kultur jamur merangsang pertumbuhan Catenaria bila sumber nitrogen lain hanya diperoleh dari asparagin. Biasanya asam glutamat atau asparagin memungkinkan jamur tumbuh lebih cepat daripada sumber nitrogen anorganik.

Pengaruh Air Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menyatakan bahwa air dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur sama seperti pada organisme lain. Jamur biasanya membutuhkan selapis tipis air di sekitar sel-selnya, melalui air tersebut enzim dan nutrien berdifusi. Spesies jamur penyebab penyakit “akar kering” dapat bertahan hidup di media yang sangat kering karena air ditranspor dari bagian yang lembab melalui hifa dan juga karena air merupakan hasil samping reaksi metabolik jamur tersebut. Bagaimanapun, terlalu kebanyakan air bisa menyebabkan jamur membusuk. Sebagai contoh, sebagian besar jamur berfilamen tidak memproduksi spora dalam media yang terendam air, dan pertumbuhan dapat dihambat bila kondisi terendam air menyebabkan lingkungan menjadi anaerob.

Pengaruh Tekanan Osmotik Terhadap Pertumbuhan Jamur

Garraway dan Evans (1984) menjelaskan bahwa pertumbuhan jamur biasanya dapat dicegah dengan mengeringkan substrat, suatu metode yang sering digunakan dalam industri makanan untuk mencegah pembusukan. Kandungan air pada jamur juga dapat dikurangi dengan membuat potensial osmotik di luar sel lebih negatif daripada di dalam sel. Sebagai contoh, gula atau garam dapat ditambahkan ke daging, buah atau jam untuk mencegah pertumbuhan jamur. Gula berkonsentrasi 50 – 70 % atau garam berkonsentrasi 20 – 25 % biasanya efektif. Bagaimanapun, ragi yang bersifat osmofilik seperti Saccharomyces rouxii dan Saccharomyces mellis, maupun spesies jamur berfilamen seperti Aspergillus glaucus, tumbuh subur pada kondisi lingkungan yang sangat osmotik.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...

Senin, 13 April 2015

Kultur Chlorella : Produksi Lipida dan Pemanfaatannya Dalam Pengolahan Air Limbah

Arsip Cofa No. C 190

Pengaruh Nitrogen dan Karbon Dioksida Terhadap Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Widjaja et al. (2009) melakukan studi untuk mengetahui cara meningkatkan produksi lipida dari mikroalga air tawar Chlorella vulgaris dengan meneliti beberapa faktor penting seperti pengaruh konsentrasi CO2, kekurangan nitrogen dan waktu panen serta metode esktraksi. Suhu pengeringan selama ekstraksi lipida dari biomas alga ternyata mempengaruhi tidak hanya komposisi lipida tetapi juga kandungan lipida. Pengeringan pada suhu sangat rendah dan dengan kondisi hampa udara memberikan hasil terbaik tetapi pengeringan pada suhu 60 °C masih mempertahankan komposisi lipida sedangkan kandungan lipida total hanya menurun sedikit. Pengeringan pada suhu yang lebih tinggi mengurangi kandungan triasilgliserol. Bila sampel alga kering ditumbuk cukup halus, ultrasonikasi tidak memberikan pengaruh terhadap kandungan lipida maupun terhadap lama ekstraksi.

Widjaja et al. (2009) menambahkan bahwa selain meningkatkan total kandungan lipida dalam sel-sel mikroalga akibat media kultur kekurangan nitrogen, ternyata bahwa perubahan dari media bernutrien normal ke media yang kekurangan nitrogen akan mengubah secara perlahan-lahan komposisi lipida dari lipida yang bebas asam lemak menjadi lipida yang banyak mengandung triasilgliserol. Karena kandungan lipida yang lebih tinggi diperoleh bila pertumbuhan alga sangat lambat akibat kekurangan nitrogen, maka masalah kandungan lipida dan waktu panen harus dipertimbangkan guna mendapatkan kandungan lipida yang lebih banyak dan produktivitas lipida yang lebih tinggi. Karena pertumbuhan alga ini banyak ditingkatkan oleh naiknya konsentrasi CO2, maka konsentrasi gas ini memainkan peranan penting dalam meningkatkan produktivitas lipida. Pada konsentrasi CO2 rendah sampai sedang, produktivitas lipida tertinggi dapat diperoleh selama kekurangan nitrogen yang dapat melebihi produktivitas selama nutrisi normal. Pada konsentrasi CO2 tinggi, pemanenan pada akhir fase linier selama nutrisi normal menghasilkan produktivitas lipida tertinggi. Bagaimanapun, dengan mengurangi lama inkubasi dalam media kurang-nitrogen, kandungan lipida yang lebih tinggi serta produktivitas lipida yang lebih besar masih bisa dicapai pada kondisi ini.

Baca juga :
Struktur Komunitas dan Dinamika Populasi Plankton

Pengaruh Besi Terhadap Pertumbuhan dan Penimbunan Lipida Pada Kultur Chlorella

Liu et al. (2008) menyatakan bahwa kelayakan ekonomi kultur masal alga untuk produksi biodiesel bisa diperbaiki dengan meningkatkan produktivitas biomas dan cadangan lipida. Pengaruh besi terhadap pertumbuhan dan penimbunan lipida dalam mikroalga laut Chlorella vulgaris telah dipelajari. Pada percobaan I, pengayaan media pertumbuhan dengan FeCl3-berchelat pada saat alga memasuki fase pertumbuhan akhir meningkatkan kepadatan sel akhir tetapi tidak merangsang penimbunan lipida di dalam sel. Pada percobaan II, sel-sel yang memasuki fase pertumbuhan eksponensial akhir dikumpulkan dengan cara sentrifugasi dan diinokulasi kembali ke media baru yang dilengkapi dengan lima level konsentrasi Fe3+. Total kandungan lipida dalam kultur yang dilengkapi dengan 1,2 × 10-5 mol/liter FeCl3 naik sampai 56,6 % biomas berdasarkan berat kering dan nilai ini adalah 3 - 7 kali lipat dibandingkan nilai dalam media lain yang konsentrasi besinya lebih sedikit. Selain itu, metode sederhana dan cepat untuk menentukan penimbunan lipida dalam Chlorella vulgaris dengan spektrofluorimetri telah dikembangkan.

Baca juga :
Fotosintesis Fitoplankton dan Pengaruh Faktor Fisika-Kimia

Meningkatkan Produksi Lipida Pada Chlorella vulgaris Dengan Mengendalikan Kondisi Kultur

Lu et al. (2010) melaporkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas lipida dan dengan demikian mengurangi biaya produksi biodiesel mikroalga, pengaruh kondisi kultur termasuk konsentrasi KNO3, CO2 dan iradiansi cahaya (energi cahaya per satuan luas) terhadap pertumbuhan sel, kandungan klorofil-a dan penimbunan lipida pada Chlorella vulgaris telah diteliti secara sistematik dalam fotobioreaktor. Komposisi biokimia termasuk karbohidrat, protein dan lipida dianalisis secara bersamaan dengan spektroskopi FT-IR. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produktivitas biomas terbesar dan kandungan lipida terbanyak bisa diperoleh pada kondisi kultur yang berbeda. Alga sebaiknya dipanen pada saat produktivitas biomas dan kandungan lipidanya optimum, yaitu ketika kondisi kulturnya dikendalikan pada 1,0 mM KNO3, 1,0 % CO2 dan 60 mikromol foton/m2/detik pada suhu 25 °C, produktivitas lipida tertinggi yang diperoleh adalah 40 mg/liter/hari, yang merupakan 2,5 kali lipat nilai yang dilaporkan oleh penelitian sebelumnya.

Ad (klik gambar untuk informasi lebih detil) :


Glukosa Untuk Meningkatkan Produksi Lipida Pada Kultur Chlorella

Liang et al. (2009) meneliti biomas dan produktivitas lipida Chlorella vulgaris pada berbagai kondisi pertumbuhan. Pertumbuhan autotrofik menghasilkan kandungan lipida seluler yang lebih tinggi (38 %), namun produktivitas lipidanya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh pertumbuhan heterotrofik dengan media asetat, glukosa atau gliserol. Nilai-nilai optimal pertumbuhan sel (2 gram/liter) dan produktivitas lipida (54 mg/liter/hari) diperoleh dengan memanfaatkan glukosa berkonsentrasi 1 % (berat/volume); konsentrasi glukosa yang lebih tinggi bersifat menghambat. Pertumbuhan Chlorella vulgaris pada media gliserol memiliki efek dosis yang sama dengan pada media glukosa. Secara umum, Chlorella vulgaris bersifat mixotrophic.

Baca juga :
Kultur Daphnia : Pengaruh Faktor Lingkungan

Asam-Asam Lemak Yang Dihasilkan Oleh Kultur Chlorella

Petkova dan Garcia (2007) mempelajari komposisi asam lemak tiga spesies Chlorella pada kondisi kultur fotoautotrof, heterotrof, kelaparan nitrogen dan pada kultur fotobioreaktor luar-ruangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam-asam lemak 14:0, 16:0, 16:1, 16:2, 16:3, 18:0, 18:1, 18:2 dan a-18:3 terbukti berasal dari Chlorella. Sedangkan asam-asam lemak dengan 20 atom karbon dan empat atau lima ikatan rangkap dianggap tidak berasal dari Chlorella. Keberadaan jenis-jenis asam lemak lain di luar komposisi ini disimpulkan akibat kultur alga yang bersifat campuran, kontaminasi oleh bakteri atau senyawa asing.

Baca juga :
Kultur Masal Brachionus dan Pemanfaatannya Sebagai Pakan Larva Ikan

Kultur Chlorella Untuk Mengolah Air Limbah Perkotaan

Wang et al. (2010) melakukan studi dengan tujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan alga hijau Chlorella sp. pada sampel air limbah dari empat titik instalasi pengolahan limbah perkotaan lokal dan bagaimana pertumbuhan alga bisa menyingkirkan nitrogen, fosfor, chemical oxygen demand (COD) dan ion-ion logam dari air limbah. Keempat limbah cair tersebut adalah limbah sebelum pengendapan primer (air limbah no 1), air limbah setelah pengendapan primer (air limbah no 2), air limbah yang keluar dari tangki lumpur aktif (air limbah no 3) dan sentrat (air limbah no 4), yaitu air limbah yang dihasilkan oleh sentrifugasi lumpur.

Wang et al. (2010), berdasarkan studi yang dilakukannya itu, menyimpulkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan spesifik dalam periode eksponensial adalah 0,412, 0,429, 0,343, dan 0,948 per hari untuk air limbah no 1, 2, 3 dan 4, berturut-turut. Laju penyingkiran NH4-N adalah 82,4 %, 74,7 % dan 78,3 % untuk air limbah no 1, 2 dan 4, berturut-turut. Untuk air limbah no 3, sebanyak 62,5 % NO3-N, yang merupakan bentuk utama nitrogen anorganik, dihilangkan dengan laju yang besarnya 6,3 kali lipat laju pembentukan NO2-N. Dari air limbah no 1, 2 dan 4 sebanyak 83,2 %, 90,6 % dan 85,6 % fosfor serta 50,9 %, 56,5 % dan 83,0 % COD, berturut-turut, bisa dihilangkan. Hanya 4,7 % fosfor dihilangkan dalam air limbah no 3 dan COD dalam air limbah no 3 meningkat sedikit setelah pertumbuhan alga, mungkin akibat ekskresi molekul-molekul organik fotosintetik kecil oleh alga. Ion-ion logam, terutama Al, Ca, Fe, Mg dan Mn dalam sentrat disingkirkan dengan sangat efisien. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa alga yang ditumbuhkan dalam sentrat kaya-zat hara menyediakan pilihan baru penggunaan alga untuk mengolah limbah dan mengurangi beban zat hara dalam air.


REFERENSI :
ARTIKEL TERKAIT

loading...